Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan The 2nd Indonesian Constitutional Court International Symposium 2018 (ICCIS 2018) dan telah dibuka secara resmi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman di Hotel Tentrem, Yogyakarta. Mengangkat tema The Constitutional Court and Constitutionalism in Political Dynamics (Mahkamah Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Dinamika Politik), ICCIS 2018 meliputi tiga rangkaian kegiatan utama, yaitu International Symposium, International Short Course dan Paper Presentation (Call for Papers).
Hakim Konstitusi Saldi Isra membuka secara resmi kegiatan ilmiah Paper Presentation (Call for Papers) yang digelar pada Selasa (2/10). Dalam sambutannya, Saldi menyampaikan harapannya kepada para pembicara terpilih yang terdiri dari para pakar, peneliti senior, hingga akademisi junior, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri akan terjadi transfer of knowledge and experience di antara para pembicara dan peserta pada kegiatan ini.
Selain itu, Saldi menekankan bahwa perkembangan hukum, politik, dan demokrasi di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir telah banyak menjadi objek kajian dan penelitian yang menarik. Kehadiran Mahkamah Konstitusi turut mengakselerasi terpenuhinya hak-hak konstitusional warga negara.
Saldi juga menyampaikan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah berkembang sangat pesat pasca terjadinya reformasi konstitusi sejak 1999 hingga 2002. Saat ini, Indonesia tengah memasuki fase konsolidasi demokrasi. Dalam praktik berdemokrasi, Indonesia menjadi negara dengan sistem kepemiluan yang sangat kompleks. Pada 2019, Indonesia akan menggelar Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif secara serentak untuk pertama kalinya. Jumlah pemilih yang terdaftar untuk Pemilu 2019 berjumlah 195,6 juta.
Sementara Sekjen MK M. Guntur Hamzah dalam laporannya, menyampaikan bahwa makalah-makalah terbaik dari kegiatan ini akan diterbitkan dalam jurnal Constitutional Review, baik dalam bentuk cetak maupun online. “Artinya, tulisan anda akan dibaca oleh audiens yang lebih luas, tidak saja para akademisi dari mancanegara, namun juga para hakim konstitusi, baik di Indonesia maupun negara-negara Asia serta kawasan-kawasan lainnya. Karena Mahkamah Konstitusi mempunyai jejaring kerjasama yang erat dengan berbagai negara dunia yang juga memiliki Mahkamah Konstitusi,” jelas Guntur.
Diskusi Ilmiah Call for Papers
Mengangkat tema “Constitutional Court and Constitutionalism in Political Dynamics”, Call for Papers ini diikuti oleh 20 peserta yang berasal dari berbagai negara, diantaranya Indonesia, Australia, Kolombia, Perancis, Jepang, Kirgizstan, Korea, Macedonia dan Malaysia.
Salah satu peserta Kim Jin Wook dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, dalam makalahnya yang berjudul “Korean Constitutional Court and Constitutionalism in Political Dynamics-Focusing on Presidential Impeachment”, menyatakan bahwa MK Korea Selatan, yang seharusnya menjadi Gerakan Demokrasi Juni pada tahun 1987, telah mengubah konstitusionalisme Korea. Dua kasus pemakzulan baru-baru ini diputuskan pada 2004 terhadap Presiden Roh dan terhadap Presiden Park pada 2017 lalu.
Sementara peserta lain dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Abdurrahman Satrio, dalam makalahnya, mengungkapkan gejala yang mengkhawatirkan bahwa fenomena kemunduran konstitusional telah terjadi di Indonesia. Hal ini terbukti dari tindakan pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo yang secara sistematis membahayakan tiga elemen fundamental demokrasi, yaitu sistem pemilu demokratis, hak untuk berbicara dan berserikat, serta integritas hukum dan lembaga hukum.
Namun, lanjutnya, melemahnya demokrasi yang terjadi tidak dapat membuat masyarakat secara langsung melabeli pemerintahan Joko Widodo sebagai rezim otoriter, mengingat bahwa tindakan mereka belum sepenuhnya menghilangkan ketiga elemen demokrasi, tetapi yang telah dilakukan pemerintahnya jelas berbahaya bagi demokrasi.
“Saya juga menemukan fakta menarik lainnya. Beberapa ahli berpendapat jika biasanya, para penguasa yang melakukan kemunduran konstitusional adalah para pemimpin populis. Meski harus dipelajari lebih lanjut, terutama oleh ilmuwan politik, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Joko Widodo juga populis, sehingga pola pelemahan demokrasi oleh pemerintah Joko Widodo dengan mekanisme konstitusional sebenarnya tidak mengherankan. Karena apa yang dilakukan pemerintahnya, hanya mengulangi pola yang terjadi di banyak bagian dunia,” tandasnya. (Bayu/LA)