Hak atas kebebasan dan rasa aman (the rights to liberty and security) merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi di semua negara. Ia tak boleh dilanggar atau dicederai secara sewenang-wenang. Persoalannya, di dalam praktiknya, jaminan perlindungan tersebut kerapkali mengalami hambatan, dan sulit untuk terlaksana sepenuhnya. Persoalan itulah yang menjadi topik utama yang diusung oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Turki dalam 6th Summer School yang diselenggarakan pada 16-22 September 2018 di Ankara dan Konya, Turki. Summer School merupakan agenda tahunan MK Turki dalam kapasitas sebagai Sekretariat Permananen Asosiasi MK se-Asia (AACC) untuk bidang peningkatan sumber daya manusia.
MK Turki mengundang 17 negara, termasuk Indonesia, untuk menjadi bagian dari kegiatan tersebut. MK Indonesia mengirimkan delegasi yang terdiri dari Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri Fajar Laksono beserta beberapa staf Kepaniteraan MK. Hadir juga delegasi peradilan konstitusi dari Albania, Azerbaijan, Bulgaria, Georgia, Kyrgyzstan, Kosovo, Kazakhstan, Siprus Utara, Ukraine, Thailand, Palestina, Tajikistan, Mongolia, Thailand, Montenegro, dan Korea.
Kegiatan dibuka secara resmi di Gedung MK Turki di Ankara pada Senin (17/9) pagi. Dalam sambutan di acara pembukaan, Presiden MK Turki Zuhtu Arslan, menyampaikan alasan dipilihnya tema the rights to liberty and security. Pengalaman MK Turki menangani perkara dugaan pelanggaran atas the rights to liberty and security bukan hanya penting untuk disampaikan, tetapi juga penting bagi Turki untuk memperoleh wawasan perihal yang sama dari praktik di negara lain.
Dalam sesi presentasi kegiatan tersebut, dihadirkan pembicara, baik dari kalangan akademisi maupun dari MK Turki sendiri untuk membagikan pandangan dan soal-soal yang berkaitan dengan the rights to liberty and security.
Masing-masing delegasi kemudian menyampaikan pengalaman masing-masing lembaga dalam memberikan perlindungan serta jaminan terhadap the rights to liberty and security. Sejumlah variasi pengaturan dan praktik dikemukakan. Di Turki dan sejumlah negara lain misalnya, MK memiliki kewenangan untuk memutus Individual Application. Sebagai contoh, jika seseorang dilakukan penahanan oleh aparat negara, lalu mereka merasa penahanan itu sewenang-wenang, dia bisa mengajukan Individual Application. Setelah MK Turki memeriksa bukti-bukti yang ada, dapat saja penahanan itu tidak berdasar hukum yang menyebabkan hak kebebasan dan rasa aman terganggu. Bahkan, negara harus memberikan kompensasi berupa uang kepada yang bersangkutan atas kerugian akibat tindakan negara tersebut.
Delegasi Indonesia dalam pemaparannya mengemukakan bahwa MK Indonesia tidak memiliki kewenangan memutus perkara Individual Application atau constitutional complaint seperti halnya MK Turki. Akan tetapi, perlindungan terhadap hak atas kebebasan dan rasa aman yang dijamin konstitusi dilakukan MK melalui pelaksanaan kewenangan constitutional judicial review. Sejumlah putusan MK dikemukakan dalam sesi presentasi tersebut, sebagai bagian dari pembuktian kepada delegasi lainnya bahwa MK Indonesia memiliki peran strategis mengawal konstitusi dan melindungi hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, termasuk hak atas kebebasan dan rasa aman.
Seluruh peserta sepakat, seluruh pengadilan, terutama melalui peradilan konstitusi, harus seharusnya memiliki peran lebih besar sesuai dengan kewenangan yang dimiliki untuk memberikan perlindungan hak atas kebebasan dan rasa aman kepada warga negara. Tantangan yang muncul, mesti dihadapi secara lebih komprehensif.
Usai sesi presentasi, Wakil Presiden MK Turki Engin Yildirim menyampaikan sambutan serta ucapan terima kasih kepada seluruh delegasi yang hadir pada Rabu siang, 19 September 2018. Selanjutnya, dilanjutkan dengan studi ekskursi dan sosial program seluruh peserta ke Kota Konya, the Capital City of Sufie, the City of Hearts, tempat Jalalluddin Rumi berada yang terletak 265 km sebelah selatan Ankara. (FLS/LA)