Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/9) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 74/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Lembaga Anti Pencucian Uang Indonesia (LAPI), Yayasan Auriga Nusantara, Charles Simabura, Oce Madril dan Abdul Ficar Hadjar.
Para Pemohon diwakili kuasa hukum Feri Amsari merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf z dan penjelasan Pasal 74 UU TPPU. Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU menyatakan “(1) “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: … z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih”. Sementara, Penjelasan Pasal 74 UU TPPU menyatakan, “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya”.
Para Pemohon beralasan Pasal 2 ayat (1) huruf z UU TPPU telah menimbulkan ketidaktertiban dan ketidakpastian hukum karena memberikan batasan terhadap tindak pidana yang ancamannya pidananya 4 (empat) tahun atau lebih. Padahal terdapat pula tindak pidana asal lain yang diancam di bawah 4 (empat) tahun, dan melibatkan harta kekayaan atau aset dalam jumlah yang besar, dan terdapat indikasi kuat adanya upaya-upaya untuk menyembunyikan, menyamarkan hasil tindak pidana tersebut dengan berbagai modus pencucian uang. Salah satu tindak pidana yang ancamannya di bawah 4 (empat) tahun adalah tindak pidana hak cipta.
“Satu pasal dan satu penjelasan dari Undang-Undang Nomor 8 ini, menurut kami bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan beberapa alasan. Pertama, pertentangan itu timbul karena dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional,” urai Feri di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Menurut para Pemohon, keberadaan pasal-pasal a quo telah menyebabkan upaya pemberantasan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak berlangsung maksimal karena menimbulkan keterbatasan jangkauan dari lembaga-lembaga yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan TPPU.
Jika diamati, sambung Feri, sebenarnya tindak pidana pencucian uang itu berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 adalah merupakan tindak pidana yang mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Dalam konteks ini, keberadaan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan penjelasan Pasal 74 menyebabkan upaya untuk melakukan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi tidak maksimal.
“Menurut kami, dua pasal ini menimbulkan kerancuan dan pertentangan dengan beberapa pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kalau diperhatikan, Pasal 2 ayat (1) huruf z Undang-Undang Nomor 8 itu dapat dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena bunyinya Pasal 2, hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana-tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih,” ucap Feri.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf z Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “…tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih”. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”.
Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti kedudukan hukum Pemohon dan dalil permohonan. Ia meminta agar Pemohon menyesuaikan kerugian yang dialami dengan kedudukan hukumnya.
“Dalam hal tindak pidana pencucian uang ini, dimana dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya barangkali di situ lebih jelas menunjukkan bahwa visi, misinya ataupun tugas daripada organisasi yang menamakan dirinya Yayasan Auriga Nusantara serta apa yang menjadi tujuan dari organisasi ini. Kalau Pemohon III, IV, V sebagai pendidik, perorangan tapi dia berprofesi sebagai pendidik. Mungkin bisa lebih diuraikan bagaimana hubungan antara norma ini dengan profesi mereka dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi,” tambah Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati sistematika permohonan Pemohon. Ia meminta agar para Pemohon menyederhanakan permohonan agar mudah dipahami. “Soal sistematika permohonan, saya kira karena Anda sudah biasa beracara di MK, tidak ada persoalan. Hanya saja disarankan agar permohonan lebih langsung dan sederhana serta mudah dipahami. Karena prinsip permohonan tidak hanya dibaca oleh para hakim dan pihak-pihak yang ada di Mahkamah Konstitusi. Dengan permohonan yang lebih sederhana, maka lebih mudah dicerna oleh setiap masyarakat untuk setiap perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)