Karyawan PT Manito World kembali mengajukan uji materiil terkait aturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja/buruh yang memiliki sakit berkepanjangan sebagaimana diatur dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Perkara yang teregistrasi dengan nomor perkara 77/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Banua Sanjaya Hasibuan, David M. Agung Aruan, dan Achmad Kurnia selaku karyawan di PT Manito World.
David M. Agung Aruan yang mewakili Pemohon menjelaskan berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, karena pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan menerima kompensasi apabila ia mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan tanpa disertai/dibuktikan dengan rekam medis dari kedokteran. Ketiadaan kewajiban melampirkan bukti rekam medis dalam ketentuan tersebut, menurut Pemohon, akan membahayakan Pemohon serta para pengusaha karena akan mengalami kerugian yang cukup besar hingga dapat mengalami kebangkrutan karena harus membayar kewajiban karena pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh tersebut.
“Apabila pernah mengalami suatu kejadian harus memberikan pesangon tanpa adanya surat keterangan resmi ataupun rekam medis dari rumah sakit. Dalam hal ini, kami memohon supaya dilakukan pengujian terhadap pasal tersebut supaya dapat direvisi, sehingga muncul ketentuan mengenai rekam medis ataupun keterangan resmi dari rumah sakit mengenai sakit yang berkepanjangan tersebut,” jelas Agung di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan direvisi atau penambahan materi tentang rekam medis yang mana bunyinya akan seperti ini “Pekerja buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan sekaligus memberikan bukti Rekam Medis dari Kedokteran atau keterangan resmi dari rumah sakit baru bisa diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)“.
Sudah Diputus
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan bahwa Mk telah memutus permohonan serupa yang diajukan Pemohon yang sama sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XVI/2018. Palguna mengingatkan bahwa Pemohon mengulangi kesalahan yang sama terkait kedudukan dan kerugian konstitusional yang dialami karena putusan sebelumnya diputus tidak dapat diterima oleh MK.
“Persoalannya begini. Anda mengulangi kesalahan yang sama. Saudara lawyer pasti diberitahu atau tidak bahwa putusan terhadap perkara ini sebelumnya diputus tidak dapat diterima? Tapi itu yang mau saya jelaskan sekarang. Siapa sebenarnya yang jadi Pemohon di sini? Badan hukum inikah atau karyawan? Itu dua hal yang berbeda. Karena pasti hak konstitusionalnya berbeda, bahkan bertentangan mungkin kalau antara karyawan dengan perusahaan,” urai Palguna.
Hal senada disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra yang meminta agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum sebagai badan hukum atau perseorangan. Saldi pun menyarankan agar Pemohon memperbaiki batu uji yang digunakan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 172 UU Ketenagakerjaan.
“Kalau Saudara mendalilkan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan itu, lalu dikaitkan dengan Pasal 28D ayat (2) tadi disebutkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, harus jelas kira-kira dengan berlakunya Pasal 172 itu, mengapa dikatakan pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan batu ujinya itu? Sebab kalau tidak ada terlihat ketersambungan antara berlakunya norma Pasal 172 UndangUndang Ketenagakerjaan itu dengan pasal yang dijadikan batu uji, nah itu akan dikatakan bahwa Permohonan Saudara itu kabur,” tandas Saldi. (Lulu Anjarsari)