Forum Perjuangan Pensiunan Bank Negara Indonesia (FPP BNI) mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemberlakuan Putusan MK Nomor 100/PUU-X/2012 yang menggugurkan Pasal 96 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Ketua FPP BNI Martinus Nuroso tercatat Kepaniteraan MK menjadi Pemohon dari perkara Nomor 75/PUU-XVI/2018.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan adanya penafsiran sepihak atas Putusan MK Nomor 100/PUU-X/2012 yang tidak dapat berlaku surut, yang menyebabkan anggota FPP BNI dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak adanya kepastian hukum. Ketiadaan kepastian hukum tersebut timbul akibat hak-hak Pemohon yang belum dibayar penuh oleh Bank BNI telah melewati masa kedaluwarsa, padahal hak tersebut timbul sebelum Putusan Mahkamah Konstiitusi Nomor 100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013. Hak tersebut dianggap tidak dapat lagi dituntut sehingga menimbulkan kerugian materiil bagi Pemohon yang cukup signifikan.
“Saya mendapat informasi adanya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1/MEN/1/2015 tanggal 17 Januari 2015 yang menanggapi Putusan MK Nomor 100/PUU-X/2012 yang intinya putusan menteri itu mengatakan karena putusan MK ini tidak berlaku surut, maka surat edaran dibutir 3 menjelaskan hak-hak yang timbul sebelum 17 September 2011 itu tidak bisa digugat. Jadi, karena Pasal 96 (UU Ketenagakerjaan) itu mundur 2 tahun, gugur satu hak itu adalah 2 tahun sejak timbulnya hak, makanya ditarik mundur 17 September 2013, ditarik mundur 2 tahun ke belakang menjadi 17 September 2011,” jelas Martinus dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut.
Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memprioritaskan pemeriksaan dan memutus permohonan dengan memberikan tafsir yang benar sejak kapan pemberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUUX/2012 tanggal 19 September 2013 yang menggugurkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengingat telah menimbulkan kerugian konstitusional dan pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian materiil bagi Pemohon. Selain itu, Pemohon meminta kejelasan waktu pemberlakuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUUX/2012 tanggal 19 September 2013 yang menggugurkan/membatalkan Pasal 96 Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kewenangan MK
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Ia meminta agar Pemohon memahami kewenangan-kewenangan tersebut. Karena menurut Palguna, permohonan Pemohon tidak meminta pengujian suatu norma, melainkan penafsiran Putusan MK. Hal tersebut, lanjutnya, bukan merupakan kewenangan MK. “Terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji norma undang-undang, bukan itu yang Bapak minta dalam permohonan ini. Jadi, kami sudah tidak berwenang,” ujar Palguna.
Palguna juga menilai bahwa permohonan Pemohon terkait penerapan norma, bukan masalah konstitusionalitas. Sementara terkait kerugian yang dialami Pemohon, Palguna menyarankan untuk menempuh jalur peradilan lain karena MK tidak berwenang.
“Jadi, persoalannya itu ada ketika norma undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi itu diberlakukan dalam persoalan yang konkret, sayangnya kami tidak mempunyai kewenangan untuk memutus persoalan-persoalan seperti itu. Itu kewenangan dari lembaga yang lain, pengadilan yang lain,” urainya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan bahwa MK tidak dapat menghidupkan kembali pasal yang telah diputus. Ia menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. “Tidak mungkin kami menghidupkan pasal yang sudah dinyatakan inkonstitusional itu. Kalau kami dipaksa terus, akhirnya kami menguji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 dan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tidak ada lagi pengujian, makanya putusan Mahkamah Konstitusi itu sifatnya final and binding,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)