Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (19/9) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 71/PUU-XVI/2018 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Muhammad Hafidz selaku salah satu Pemohon menyampaikan perbaikan yang dilakukan pihaknya, di antaranya menambahkan argumentasi yang memperkuatkan dalil permohonan. Lebih lanjut, Hafidz menyampaikan pihaknya menambahkan dengan tidak diaturnya pembatasan pemberian dana kampanye dalam pasal a quo, Pemohon menilai hal tersebut memungkinkan terjadinya upaya memengaruhi piilhan pemilih melalui jual beli suara. Selain itu, Pemohon menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak semata-mata pesta demokrasi. “Karena kami melihat tidak mungkin ada tata kelola baru yang lebih baik dari pemerintah apabila korupsi masih ada,” ujar Hafidz.
Berikutnya Petitum, lanjut Hafidz, memohon pada Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara bersyarat. “Jadi pada intinya meminta agar pemberian dana sumbangan kampanye partai politik dipersamakan dengan perseorangan,” jelas Hafidz.
Sebelumnya, para Pemohon yang terdiri atas Dorel Almir, Abda Khair Mufti, dan Muhammad Hafidz menyatakan aturan sumber dana kampanye sebagaimana tercantum dalam Pasal 326 UU Pemilu berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Ketentuan tersebut merugikan karena tidak mengatur mengenai batasan pemberian dana kampanye untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari salah seorang atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maupun partai politik. Sebagai peserta pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden ataupun partai politik diberi hak menerima sumbangan dana kampanye yang tidak mengikat perorangan dan tidak boleh melebihi 2,5 miliar rupiah atau yang berasal dari kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang tidak boleh melebihi 25 miliar rupiah. Akan tetapi, UU Pemilu tidak mengatur mengenai batasan pemberian dana kampanye untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan maupun dari parpol.
Oleh karena itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 326 UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dana kampanye untuk pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari perseorangan mencakup pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh melebihi Rp85.000.000.000,00 (delapan puluh lima miliar rupiah), maupun yang berasal dari kelompok mencakup partai politik dan/atau gabungan partai politik tidak boleh melebihi Rp850.000.000.000,00 (delapan ratus lima puluh miliar rupiah), perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah. Apabila pasal a quo dinyatakan konstitusional bersyarat, tambah Darel, selaku warga negara yang juga berkewajiban menjaga penyelenggaraan pemilu yang jurdil, para Pemohon mengharapkan agar pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih nantinya tidak diganggu oleh kepentingan penyumbang-penyumbang fiktif yang dapat merugikan kepentingan umum. (Sri Pujianti/LA)