Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) pada Rabu (19/9) di Ruang Sidang Panel MK. Para Pemohon yang merupakan mahasiswa atas nama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon I) dan Aisyah Sharifa (Pemohon II) menyatakan Pasal 4 UU Penodaan Agama berpotensi merugikan hak konstitusionalnya.
Pasal 4 UU Penodaan Agama menyatakan, “Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: \"Pasal 156a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa\".
Aisyah yang hadir dalam persidangan menjelaskan bahwa pihaknya sering mendapatkan kesempatan untuk melakukan public speaking, baik sebagai pembicara dalam berbagai seminar, forum diskusi, maupun konferensi. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, para Pemohon menilai harus tetap berpegang teguh pada iman yang diyakini oleh masing-masing.
“Namun keberlakukan pasal a quo sebagai contoh adalah jika pada suatu kompetisi debat hukum, Pemohon II menyebut kata Nabi Isa a.s. bukan Tuhan Al-Masih dan didengar oleh penonton beragama Kristen, maka penonton dapat saja menilai Pemohon II telah menistakan agama,” jelas Aisyah di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra.
Dengan adanya pasal a quo, lanjut Zico, memungkinkan setiap orang yang menganut agama tertentu untuk menyalahkan agama lain yang tidak dianggap benar olehnya. Padahal setiap agama pada dasarnya memang berbeda-beda dan setiap agama dianggap benar oleh pengikutnya masing-masing. “Dengan demikian, pasal a quo dapat digunakan orang-orang yang tidak mengerti agamanya sendiri untuk menuduh orang lain melakukan penistaan agama,” ujar Zico dalam perkara yang teregistrasi Nomor 76/PUU-XVI/2018.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Pemohon meminta agar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Tak Hanya Potensi
Menanggapi permohonan tersebut, Saldi menekankan beberapa usaha perbaikan yang sebaiknya dilakukan Pemohon. Pertama, perlunya Pemohon menguraikan kerugian konstitusionalnya dengan keberlakukan pasal a quo tak hanya kerugian potensial, tetapi juga ditambahkan dalam batas penalaran yang wajar akan terjadi pelanggaran hak konstitusionalnya. Sebab, hal ini kemudian dapat membangun kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Kedua, masih berhubungan dengan legal standing bahwa Saldi mempertanyakan kepada Pemohon dalam mengajukan perkara kenapa tidak menggunakan dalil organisasi saja atau profesi sebagai penceramah yang dapat saja terancam dengan keberlakukan pasal a quo. Ketiga, dalam pokok perkara, Pemohon terlalu menyederhanakan permohonan dalam enam halaman yang sudah memuat kewenangan mahkamah dan legal standing. Untuk itu, Saldi meminta Pemohon untuk memperdalam uraian dari dalil-dalil yang diajukan.
“Misalnya para Pemohon mengaitkan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, harus ada penjelasan yang mendalam mengapa Pasal 4 UU Penodaan Agama itu bertentangan dengan UUD 1945 tersebut. Bangunan argumentasinya agar banyak argumentasi konstitusional yang dihasilkan sehingga terlihat pertentangannya,” saran Saldi.
Selanjutnya, Saldi pun meminta agar para Pemohon mengkaji kembali pengujian perkara serupa yang pernah diujikan atau bahkan diputus oleh Mahkamah. Disampaikan Saldi bahwa hal ini merupakan kelemahan lainnya dari permohonan karena tidak merujuk sama sekali pada permohonan-permohonan MK terdahulu.
Toleransi
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan menekankan pada sisi materi yang diujikan Pemohon. Manahan menilai bahwa adanya kekhawatiran Pemohon atas tuduhan penistaan agama ini perlu dikaji bahwa dalam hal inilah perlu dikembangkan adanya toleransi. Manahan menjelaskan baik pihak Pemohon maupun masyarakat yang memberikan ceramah atau khotbah dapat menyampaikan materi-materi di tempat khusus yang dihadiri oleh orang-orang yang mengerti dengan konteks penyampaian pemateri.
“Namun apabila terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkan para Pemohon rasakan, maka materi kedudukan hukum perlu dielaborasi lebih lanjut. Jadi, saya rasa permasalahan ini adalah perlu dicari toleransinya dalam praktik kehidupan sehari-hari,” ujar Manahan.
Sebelum mengakhiri persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 2 Oktober 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)