Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (18/9) pagi. Permohonan dengan Nomor 66/PUU-XVI/2018 tersebut dimohonkan oleh Minola Sebayang selaku Ketua Umum Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) dan Herwanto selaku Sekretaris Jenderal AAMSI.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat serta Hakim Konstitusi Manahan Sitompul tersebut, Pemohon menjelaskan telah melakukan perbaikan sesuai dengan saran Panel Hakim dalam sidang sebelumnya. Salah satu perbaikan yang dilakukan Pemohon adalah memperbaiki kuasa hukum, menjadi Jelani Christo dan Jonlesvik Marulitua Sinaga.
Kemudian, Pemohon juga memperbaiki dalil permohonannya. Pemohon menegaskan dalil permohonan bahwa gugurnya praperadilan karena telah dimulainya sidang suatu perkara yang sedang diperiksa di peradilan secara hakikat telah melanggar prinsip the right of due process yang diwujudkan dalam mekanisme praperadilan.
Sebelumnya, Pemohon menguji tentang aturan mengenai praperadilan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c dan d KUHAP yang menyebutkan, “Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya serta dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Pemohon mendalilkan mengatakan penundaan sidang praperadilan sering digunakan sebagai upaya mengulur-ulur waktu agar suatu perkara di pengadilan negeri dapat mulai disidangkan. Dengan demikian, maka sidang atas permintaan praperadilan menjadi gugur. Selain itu, dia mengatakan, proses praperadilan yang dinyatakan gugur pada saat dimulainya sidang pertama pemeriksaaan perkara sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, sesungguhnya bukanlah disebabkan oleh kealpaan dari pemohon praperadilan itu sendiri, melainkan disebabkan dari alpanya pengaturan mengenai berapa lama batas waktu dimulainya sidang pertama praperadilan, yang dapat mengakibatkan dalam prosesnya menjadi berlangsung lama. Sehingga, pasal a quo menjadi norma yang muatannya tidak pasti dan tidak adil, karena seseorang yang tidak melakukan kealpaan harus menanggung konsekuensi ketidakpastian hukum dalam proses praperadilan yang masih berjalan dinyatakan gugur.
Kemudian, Pemohon menyatakan proses praperadilan yang masih berlangsung dapat dinyatakan gugur, ketika sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai. Pranata praperadilan bukanlah pranata “kelas dua” yang dapat dinegasikan begitu saja, karena pada hakikatnya pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Menurutnya, ketika dimulainya sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai dan proses praperadilan belum selesai, seharusnya sidang pemeriksaan perkara ditunda prosesnya sampai putusan praperadilan selesai agar tercipta kepastian hukum yang adil. Padahal, bahwa eksistensi dari pranata praperadilan mempunyai derajat yang sama pentingnya dengan proses pranata peradilan yang lainnya dalam memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa “pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya” tidak dimaknai “Dalam hal suatu permintaan kepada pra peradilan sudah mulai diperiksa, sedangkan pemeriksaan suatu perkara di pengadilan negeri belum dimulai, maka pengadilan negeri harus menunda pemeriksaan suatu perkara sampai adanya putusan praperadilan” serta menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara mutatis mutandis apabila huruf c telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (Lulu Anjarsari)