Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (13/9) di Ruang Sidang MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 72/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Abdul Hakim selaku perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai karyawan PT Internusa Food.
Tanpa didampingi kuasa hukum, Abdul menyampaikan bahwa Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan berpotensi merugian hak konstitusionalnya. Pasal a quo menyatakan, “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)”.
Pemohon merasa dirugikan dengan diberlakukannya pasal a quo karena sejak bekerja pertama kali tanggal 6 Maret 2012, Pemohon diikat oleh PT. Internusa Food dengan perikatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yang telah dilakukan perpanjangan sebanyak 11 kali. Pemohon telah mengupayakan perubahan statusnya menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu melalui Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 6/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Jkt.Pst bertanggal 12 Juli 2018 (Putusan PHI). Putusan PHI itu menyatakan bahwa status hubungan kerja Pemohon yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) oleh PT Internusa Food, telah dinyatakan beralih menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Akan tetapi, Putusan PHI tersebut berakibat PT Internusa Food melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas Pemohon secara sepihak sejak 28 Juli 2017 dengan alasan perjanjian PKWT telah berakhir. Namun, sambung Abdul, hal tersebut harus diikuti dengan pembayaran kompensasi berupa uang pesangon senilai lebih kurang Rp54 juta dan upah selama proses PHK sebesar lebih kurang Rp13 juta. Terhadap putusan tersebut, pihak PT Internusa Food mengajukan permohonan kasasi ke MA sehingga Putusan PHI Jakarta Pusat tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan belum dapat dilaksanakan.
Lebih lanjut, Abdul menjelaskan bahwa sepanjang peralihan hubungan kerja yang semula dari PKWT menjadi PKWTT, Mahkamah Agung menghilangkan hak pekerja berupa upah selama proses PHK yang telah ditetapkan oleh PHI. Dengan demikian, Pemohon berkesimpulan bahwa upah selama proses PHI berdasarkan Putusan PHI tersebut berpotensi dihilangkan oleh MA yang berakibat pula pada hilang/berkurangnya hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dari adanya hubungan kerja yaitu upah selama proses PHK.
“Dengan tidak adanya jaminan atas hak-hak yang timbul dari akibat adanya peralihan status hubungan pekerja yang diperjanjikan dengan waktu tertentu menjadi PKWTT sebagaimana diatur pasal a quo, berpotensi akan merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dari adanya hubungan kerja,” jelas Abdul di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan. Selain itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat jika dimaknai meniadakan hak Pekerja atas upah selama proses pemutusan hubungan kerja yang semula didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Dalil Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan Pemohon untuk memperkuat dalil permohonan dengan tidak hanya berfokus pada putusan-putusan MK yang menolak, tetapi juga putusan-putusan yang menyatakan menerima perkara serupa. Hal ini perlu untuk memperkuat dalil permohonan sehingga tidak terjerumus pada perkara yang sama persis.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan agar Pemohon mencermati kedudukan hukumnya. Menurutnya, terkait dengan kedudukan hukum Pemohon tersebut diharapkan pihaknya dapat mempertegas penjelasan dari terlanggarnya hak konstitusional Pemohon ketika dalam status karyawan dengan PKWTT. “Hal ini perlu untuk melihat apakah ini persoalan norma atau pengaturan lebih lanjutnya yang tidak jelas,” papar Manahan.
Adapun Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih melihat kecenderungan Pemohon yang dinilai lebih fokus pada kasus konkret yang diderita Pemohon. Untuk itu, Enny meminta agar Pemohon memperhatikan secara saksama dengan mengelaborasikan dalil permohonan serta dasar uji yang berbeda dalam perkara yang dimohonkan ini. “Bisakah Pemohon elaborasikan kerugian yang diakibatkan dari pemberlakukan pasal a quo, sehingga terlihat bedanya dengan permohonan perkara Pemohon terdahulu yang sudah sangat banyak mengujikan UU serupa,” saran Enny.
Sebelum menutup persidangan, Wahiduddin mengingatkan agar Pemohon menyempurnakan permohonan dan selanjutnya menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Rabu, 26 September 2018 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)