Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (6/9) siang. Agenda sidang adalah pemeriksaan pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 70/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Aceh dan Azhari A. Gani selaku pengurus LPJK Aceh.
Pemohon menguji tujuh pasal dalam UU UU Jasa Konstruksi, di antaranya Pasal 30 ayat (2), ayat (4), ayat (5) yang menyebutkan, (2) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Menteri. (4) Untuk mendapatkan sertifikat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha jasa konstruksi mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi. (5) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan oleh Menteri kepada asosiasi badan usaha yang memenuhi persyaratan: a. jumlah dan sebaran anggota; b. pemberdayaan kepada anggota; c. pemilihan pengurus secara demokratis; d. sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan e. pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Para Pemohon yang tergabung dalam LPJKP Aceh merupakan perwakilan masyarakat jasa konstruksi di daerah yang telah bekerja sekitar 17 tahun dalam mengembangkan jasa konstruksi dengan ditunjang oleh infrastruktur dan sumber daya manusia yang lengkap.
“LPJKP berada di 34 provinsi, yang untuk pertama kali dibentuk pada tahun 2001 atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,” ujar Andi Muhammad Asrun kuasa hukum Pemohon.
Dijelaskan Asrun, LPJKP dibentuk untuk menyalurkan peran serta masyarakat jasa konstruksi di tingkat provinsi. Pengurus LPJKP dikukuhkan oleh Gubernur melalui Surat Keputusan Gubernur sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 juncto PP Nomor 30 Tahun 2000. Penetapan nama-nama pengurus LPJKP berasal dari usulan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atas dasar hasil fit and proper test yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dengan demikian, LPJKP merupakan suatu badan hukum publik.
“Dengan adanya ketentuan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017, Menteri mengambil hak konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon XLVII yang selama ini telah menyelenggarakan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, terjadi sentralisasi dan birokratisasi penyelenggaraan registrasi dan sertifiksasi badan usaha jasa konstruksi,” papar Asrun.
Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti kedudukan hukum Pemohon. Ia mempertanyakan kedudukan Pemohn sebagai lembaga atau perseorangan warga negara.
“Yang satu, kelihatannya mewakili lembaga. Kemudian yang di bawahnya itu seakan-akan mewakili individu, tetapi atas nama lembaga. Padahal LPJKP ini sebetulnya kan, dia lahir dari rahim yang sama, yaitu bentukan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaan di bawahnya. Ini perlu kemudian ada penegasan apakah dalam ketentuan pembentukannya itu ada atau tidak, satu ketentuan yang sama karena basisnya sama,” saran Enny.
Selain itu, Enny menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dalam kapasitas pengujian penerapan norma, tetapi menguji norma atau menguji konstitusionalitas terhadap norma. “Kalau saya mendengar penjelasan (Pemohon), kalau begini tidak terkait dengan pokok perkara lebih jauh? Saya membayangkan ada gambaran seolah-olah ini kita bicara penerapan norma. Apalagi yang diuji adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017,” jelas Enny.
Sementara itu, Wakil Ketua MK Aswanto selaku Ketua Panel mengomentari soal hak konstitusional Pemohon yang terlanggar dengan berlakunya UU a quo. Ia meminta agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialami.
“Bahwa eksistensi LPJK ini apa terancam setelah adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 jika dibandingkan dengan jaminan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. Apakah eksistensi yang dianggap digerogoti itu serta merta dianggap sebagai kerugian konstitusional? Walaupun ada bagian-bagian yang Saudara sudah urai tetapi ini menurut saya yang masih perlu di-explore, apa sandingan antara pasal-pasal yang Saudara nyatakan tadi kehilangan eksistensi dengan pasal di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan sebagai landasan pengujian. Itu yang kelihatan masih perlu lebih elaboratif lagi menurut saya, sehingga Mahkamah bisa lebih yakin bahwa ini bukan persoalan implementasi. Tapi ini memang persoalan norma,” tegas Aswanto. (Nano Tresna Arfana/LA)