Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/9) pagi. Kali ini, KUHAP dimohonkan oleh Minola Sebayang selaku Ketua Umum Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) dan Herwanto selaku Sekretaris Jenderal AAMSI. Pemohon melakukan uji materiil terhadap pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat serta Hakim Konstitusi Manahan Sitompul tersebut, Pemohon menguji tentang aturan mengenai praperadilan yang terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c dan d KUHAP yang menyebutkan, “Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya serta dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Herwanto yang hadir dalam persidangan mengatakan penundaan sidang praperadilan sering digunakan sebagai upaya mengulur-ulur waktu agar suatu perkara di pengadilan negeri dapat mulai disidangkan. Dengan demikian, maka sidang atas permintaan praperadilan menjadi gugur. Selain itu, dia mengatakan, proses praperadilan yang dinyatakan gugur pada saat dimulainya sidang pertama pemeriksaaan perkara sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, sesungguhnya bukanlah disebabkan oleh kealpaan dari pemohon praperadilan itu sendiri, melainkan disebabkan dari alpanya pengaturan mengenai berapa lama batas waktu dimulainya sidang pertama praperadilan, yang dapat mengakibatkan dalam prosesnya menjadi berlangsung lama. Sehingga, pasal a quo menjadi norma yang muatannya tidak pasti dan tidak adil, karena seseorang yang tidak melakukan kealpaan harus menanggung konsekuensi ketidakpastian hukum dalam proses praperadilan yang masih berjalan dinyatakan gugur.
Kemudian, lanjut Herwanto, proses praperadilan yang masih berlangsung dapat dinyatakan gugur, ketika sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai. Pranata praperadilan bukanlah pranata “kelas dua” yang dapat dinegasikan begitu saja, karena pada hakikatnya pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Menurutnya, ketika dimulainya sidang pertama pemeriksaan perkara dimulai dan proses praperadilan belum selesai, seharusnya sidang pemeriksaan perkara ditunda prosesnya sampai putusan praperadilan selesai agar tercipta kepastian hukum yang adil. Padahal, sambungnya, bahwa eksistensi dari pranata praperadilan mempunyai derajat yang sama pentingnya dengan proses pranata peradilan yang lainnya dalam memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf c UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa “pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya” tidak dimaknai “Dalam hal suatu permintaan kepada pra peradilan sudah mulai diperiksa, sedangkan pemeriksaan suatu perkara di pengadilan negeri belum dimulai, maka pengadilan negeri harus menunda pemeriksaan suatu perkara sampai adanya putusan praperadilan” serta menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara mutatis mutandis apabila huruf c telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan dengan Nomor 66/PUU-XV/2018 tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku anggota panel hakim memberikan saran kepada Pemohon agar memperbaiki permohonannya. Arief meminta pemohon untuk menambahkan alasan mengenai tujuan dalam mengajukan permohonan serta menggali logika hukum terkait praperadilan itu sendiri agar dapat menyakini Majelis Hakim dalam melanjutkan persidangan selanjutnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul mengatakan bahwa pemohon harus menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai badan hukum atau perseorangan. Karena, menurut Manahan, apabila dalam permohonan ini kedudukan pemohon sebagai organisasi, maka terdapat aturan mengenai siapa yang berhak mewakili begitu juga dengan perseorangan. Selain itu, dia mengatakan, sebelum menjelaskan kedudukan hukum, seharusnya pemohon terlebih dahulu menjelaskan pasal yang diujikan dan menguraikan pasal tersebut agar ada relevansi dengan norma.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo menganggap sistematika permohonan sudah cukup sesuai dan formal pesan sudah dapat terbaca karena fungsi sistematika tersebut untuk memudahkan. Namun, secara substansi, putusan mengenai praperadilan sudah pernah diputus MK. Dia mengatakan, pasal 82 ini memperluas ruang bukan membatasi. Sehingga, pemohon perlu mengelaborasi permohonannya. (Utami Argawati/LA/Yuniar Widiastuti)