Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menerima kunjungan peserta Diklat PIM IV Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung pada Rabu (29/8) siang. Anwar memaparkan mengenai kewenangan dan kewajiban MK menurut UUD 1945 di hadapan 90 peserta diklat yang hadir.
Dalam kesempatan itu, Anwar menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan ‘saudara muda’ Mahkamah Agung (MA). Lahirnya MK, lanjut Anwar, dilatarbelakangi dengan Perubahan UUD 1945 terutama Pasal 24 UUD 1945. Semula, pasal mengenai kekuasaan kehakiman hanya terdiri dari dua pasal, yakni Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. Namun, sambung Anwar, setelah Perubahan UUD 1945, pasal terkait kekuasaan kehakiman menjadi lima pasal, yakni Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 UUD 1945. Akan tetapi, lanjut Anwar, menjelaskan perbedaan antara MA dan MK, yakni sifat putusan.
“Jika Putusan MA dapat dibanding atau dikasasi, maka Putusan MK bersifat final dan mengikat. Pengaruh Putusan MA pun hanya berdampak pada Pemohon atau pihak yang berperkara. Berbeda dengan Putusan MK yang berdampak bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Anwar pun memaparkan kewenangan dan kewajiban MK sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945. Kewenangan yang paling sering dilaksanakan oleh MK, menurut Anwar, adalah pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Selain menguji undang-undang terhadap UUD 1945, MK juga memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa antarlembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945.
Kemudian, Anwar menjelaskan mengenai kewenangan MK dalam membubarkan partai politik. Jika dulu parpol dapat dibubarkan oleh presiden tanpa melalui proses peradilan, Anwar menyebut kini MK memiliki kewenangan untuk membubarkan parpol. MK dapat membubarkan parpol yang menganut sistem marxisme, komunisme atau yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pemakzulan
Anwar pun menyampaikan mengenai satu kewajiban MK, yakni memutuskan pendapat DPR tentang pelanggaran yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden atau lebih dikenal dengan pemakzulan atau impeachment. Menurut Anwar, pemakzulan dilakukan dengan mekanisme yang agak sulit agar presiden tidak mudah dijatuhkan oleh MPR dan DPR. Ia menjelaskan pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian, lanjut Anwar, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Ia menambahkan keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. “Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari atau tiga bulan setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)