Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kota Tegal 2018 yang teregistrasi dengan Nomor 1/PHP.KOT-XVI/2018 pada Selasa (28/8) siang. Sidang ketiga ini digelar dengan agenda mendengarkan ahli dan saksi dari Pemohon, Termohon, serta Pihak Terkait.
Nur Hidayat Sardini yang dihadirkan Pasangan Calon Nomor Urut 4 Habib Ali-Tanty Prasetyoningrum selaku Pemohon menjelaskan konsep pemilu. Menurutnya, pemilu yang ideal adalah pemilu yang diselenggarakan guna mencapai free and fair election. Dalam khazanah pemilu yang diakui secara luas, pemilu ideal adalah sejalannya antara keinginan rakyat pemilih dengan hasil-hasil yang diinginkan pada mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi penyelenggara. “Dengan gambaran, pemilu itu sangat memberi peluang kepada peserta pemilu, pemilih dan yang dipilih. Juga mampu membuka peluang partisipasi politik yang cukup memadai pada saat proses pemungutan dan penghitungan suara,” papar Nur Hidayat Sardini kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Sayangnya, kata Sardini, pelaksanaan pemilu kerap kali mengalami kegagalan di ujung persoalan yang sangat krusial. Hal tersebut disebabkan adanya bentuk-bentuk penipuan pemilu yang merupakan pelanggaran terhadap prosedur hukum dan mendistorsi hasil-hasil pemilu. Hal lain disebabkan stabilitas politik akibat ketidaksiapan mentalitas masyarakat pemilih, ketidakmampuan penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas, serta intervensi dari struktur kekuasaan yang bekerja.
“Selain itu disebabkan kompetisi pemilu yang justru mempertajam ritmis dan sifat kecurangan pemilu yang digelar. Pemilu sebenarnya adalah konsep yang besar, beban pemilu sangat besar karena berbenturan dengan problem teknis. Apalagi ditunjang dengan gambaran tentang persoalan sengketa, konflik, intimidasi, malapraktik dalam pemilu ditambah persoalan-persoalan lain dalam pemilu, maka teknis administrasi pemilu menjadi problem tersendiri,” urai Sardini yang juga merupakan Dosen FISIP Universitas Diponegoro.
Dijelaskan Sardini, pelaksanaan pemilu akan sangat terganggu oleh ketidakmampuan teknis para petugas penyelenggara pemilu yang tidak kompeten, tidak kredibel, memunculkan efek langsung terhadap kualitas pelaksanaan pemilu dalam sejumlah problem, terutama dalam isu pemungutan suara yang bermasalah sehingga hasil-hasil pemilu ditolak oleh semua pihak.
Proses Pemilu
Selain itu, Pemohon juga menghadirkan Bambang Cahya Eka Widodo yang menerangkan bahwa pemilu adalah proses politik yang rumit yang tidak melibatkan pengaturan prosedur dan administrasi yang kompleks. “Tetapi juga melibatkan aktivitas pendokumentasian yang tidak sederhana. Setiap penyelenggaraan pemilu menuntut kecermatan, keakuratan administrasi dan pengolahan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk menjamin pemilu berjalan transparan, akuntabel, efektif dan efisien,” ungkap Bambang.
Mantan Ketua Bawaslu tersebut mengatakan bahwa pemilu merupakan operasi logistik yang tidak sederhana dan melibatkan tenaga operasional dalam jumlah yang besar. Salah satu titik krusial dalam penyelenggaraan pemilu adalah proses rekrutmen dan pelatihan tenaga operasional yang jumlahnya besar. Proses pendidikan dan pelatihan petugas pemilu menjadi sangat penting karena mereka yang bertanggung jawab mengisi dan mendokumentasikan proses pemilihan agar terpenuhi asas transparansi dan akuntabilitas pemilihan sekaligus menjaga pemilu yang jujur dan adil.
“Kecermatan dan keakuratan dokumen-dokumen kepemiluan pada gilirannya akan menjadi penentu tingkat kepercayaan publik pada proses dan hasil pemilu itu sendiri. Pengisian dokumen kepemiluan tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Kecermatan dalam pengisian dokumen kepemiluan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari transparansi proses kepemiluan,” tegas Bambang.
Pilkada Berjalan Baik
Sementara itu, Maruarar Siahaan yang diajukan sebagai ahli oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3 Dedy Yon-Muhammad Jumadi selaku Pihak Terkait berpendapat bahwa pelaksanaan pilkada pada saat ini sudah berjalan dengan baik. “Terutama sekali pemilihan kepala daerah di Pulau Jawa meski tidak terlalu sempurna,” ujar Maruarar.
Lebih lanjut, Maruarar menyinggung perubahan-perubahan yang terjadi dalam regulasi sesudah putusan MK dan dikuatkan dengan UU No. 10 Tahun 2016. “Ada semacam paradoks yang kita lihat sebenarnya. Apakah MK dalam memeriksa, mengadili, memutus sengketa pilkada akan melihat indikator bahwa pemilu itu ada atau tidak?” kata Maruarar mempertanyakan.
Indikatornya, ungkap Maruarar, semakin kecil selisih suara Pemohon dengan Pihak Terkait, semakin kuat indikasi bahwa pilkada itu berlangsung jujur dan adil. Sebaliknya semakin besar selisih suara Pemohon dengan Pihak Terkait, maka semakin kuat indikasi bahwa pilkada tidak berlangsung jujur dan adil.
Oleh sebab itu, sambung Maruarar, paradoks dalam regulasi tersebut, dia berpendapat berbanding terbalik. Jadi semakin kecil selisih suara, semakin relevan untuk diperkarakan ke MK. “Karena kita akan bicara soal bukti-bukti dan seluruh dokumen dalam mekanisme yang dijalankan administrasi pilkada,” imbuh Maruarar.
Hal lain, Maruarar menegaskan bahwa dalam sisi hukum acara bahwa posita dari Pemohon harus mendukung petitum Pemohon. Hal tersebut harus terlihat dalam seluruh pengujian yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Keterangan Saksi
Dalam persidangan permohonan PHP Kota Tegal 2018 juga dihadirkan para saksi dari Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait. Di antaranya ada Riswantoro Tim Sukses Pasangan Calon HATI yang menerangkan sejumlah suara yang hilang. “Di TPS 4 Muara Reja berdasarkan data formulir C-KWK yang diperoleh saksi paslon, jumlah total pemilih adalah 568 orang. Namun ada 17 suara yang hilang,” jelas Riswantoro.
Saksi Pemohon lainnya, Sulaiman mengungkapkan bahwa di TPS 3 Muara Reja ada selisih 35 pengguna suara yang berasal dari pengguna KTP elektronik yang tidak tercatat pada data pemilih. Saksi Pemohon berikutnya, Ade Surakhman yang memaparkan bahwa di TPS 1 Kejambon jumlah suara sah seluruh calon adalah 433 suara, sedangkan jumlah suara tidak sah adalah 25 suara. Kemudian Saksi Pemohon, Hery Budiman menuturkan bahwa saat rekapitulasi di tingkat Kecamatan Tegal Timur pada 29 juni 2018 ditemukan kotak kosong di TPS 1 Panggung dalam keadaan bersegel. Selanjutnya Saksi Pemohon, Asmadi menerangkan adaya rekaman video KPU Kota Tegal mengenai pernyataan Ketua KPU Kota Tegal tentang hasil real count yang menyalahi prosedur.
Sementara itu, Imam yang merupakan anggota PPK Kecamatan Tegal Barat membantah dalil Pemohon soal 35 pemilih tanpa menunjukkan KTP di TPS 3 Kelurahan Muara Reja. Dalihnya, karena 35 orang tersebut menunjukkan KTP elektronik sebagaimana terbukti dari Daftar Hadir Pemilih Tambahan yang terdapat dalam formulir model A. Selain ditulis nama-nama pemilih, dalam Tb-KWK juga ditulis Nomor Induk Kependudukan yang bersangkutan. “Selain itu, 35 orang yang dimaksud adalah penduduk setempat sebagaimana bukti foto copy KTP dan KK yang bersangkutan,” ucap Imam.
Lain lagi, dengan keterangan Saksi Termohon, Muhamad Subehi selaku Ketua PPK Kecamatan Tegal Timur yang menampik adanya kotak suara kosong pada rekapitulasi tingkat Kecamatan Tegal Timur di TPS 1 Kelurahan Panggung. Alasannya, karena pada waktu pleno rekapitulasi tingkat kecamatan, KPPS diketahui keliru dalam menempatkan dokumen Pilwakot seperti formulir model C-KWK berhologram, model C1-KWK berhologram, C1 Plano-KWK dan C2-KWK ke dalam kotak suara pemilihan gubernur.
Selanjutnya, Zaenal Nurohman sebagai Saksi Pihak Terkait membantah tuduhan adanya kelebihan surat suara di beberapa TPS di Kecamatan Margadana. Zaenal yang merupakan saksi mandat pasangan calon nomor urut 3, juga menerangkan proses rekapitulasi di tingkat Kecamatan Margadana. Saksi Pihak Terkait lainnya, Abdul Jalal membenarkan 35 pemilih yang dituding tidak menunjukkan KTP elektronik di TPS 3 Kelurahan Muara Reja, benar-benar masyarakat yang berdomisili dan mempunyai KTP di Kelurahan Muara Reja. (Nano Tresna Arfana/LA)