Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Sidang kedua Perkara Nomor 62/PUU-XVI/2018 ini yang digelar pada Senin (6/8) di Ruang Sidang Panel MK ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Erdiana selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan beberapa perbaikan permohonan, di antaranya kedudukan hukum Pemohon yang merupakan warga negara terpidana yang hak konstitusionalnya dilanggar karena tidak diperkenankan untuk memperoleh kepastian hukum yang berkeadilan. Berikutnya, lanjut Erdiana, Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman benar masih berlaku dan mengatur pembatasan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK). Namun, masih bersifat lex generalis sehingga masih berlaku untuk pengajuan permohonan PK selain perkara pidana.
Di samping itu, Erdiana juga mempertegas bahwa perbedaan permohonan uji materiil norma a quo dibandingkan uji materiil lainnya mengenai PK adalah spesifik untuk perkara pidana saja. Bahwa Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 hanya memperbaiki Pasal 268 KUHAP, namun tidak mengajukan perbaikan UU MA dan Kekuasaan Kehakiman mengenai MK. “Sehingga UU MA dan Kekausaan Kehakiman masih berlaku, baik untuk PK Pidana maupun Perdata. Dan atas dasar hukum, belum dilakukannya perbaikan kedua UU tersebut. Sehingga, hak konstitusional warga negara masih dibatasi untuk pengajuan permohonan PK lebih dari sekali untuk perkara pidana,” urai Erdiana.
Sebelumnya, Sutrisno Nugroho yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia telah dijatuhkan putusan pidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1985/Pid/Sus/2015/PN.Jkt.Brt tanggal 31 Maret 2016 dan juga telah mengajukan dua permohonan PK sebagaimana Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 07/Akta Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt. bertanggal 05 Juni 2017. Kemudian pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2018, Pemohon merasa telah menemukan alat bukti baru (novum) sehingga Pemohon kembali mencoba untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya. Namun Pemohon merasa permohonan peninjauan kembali yang kedua kali menjadi sia-sia karena adanya pembatasan dalam undang-undang yang diajukan permohonan uji materiil seperti yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Pemohon, MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 telah memperkenankan permohonan peninjauan kembali terkait perkara pidana yang dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, Pengadilan Negeri tempat Pemohon disidangkan menolak pengajuan permohonan PK dengan alasan adanya Surat Edaran MA Nomor 07 Tahun 2014 tertanggal 31 Desember 2014. Dalam SEMA tersebut, dinyatakan agar tidak menerima pihak yang mengajukan upaya hukum permohonan PK untuk kedua kali atau lebih, kecuali hanya dengan alasan terdapatnya berbagai putusan dalam satu objek perkara. Akibat dari pemberlakuan pasal a quo, permohonan PK terhadap perkara pidana yang pernah melakukan PK, tidak akan diterima meskipun adanya novum yang mungkin saja sangat substansial. Oleh karena tidak adanya konsistensi antara pasal a quo yang mengatur pembatasan PK, maka hal tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. (Sri Pujianti/LA)