Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE (UU ITE) pada Senin (6/8). Sidang kedua perkara Nomor 64/PUU-XVI/2018 tersebut, yakni mendengar perbaikan permohonan.
Muhammad Rahmani selaku Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Panel Hakim. Pemohon menyebut telah memperbaiki petitum permohonan. “Pembentukan UU ITE tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau hanya berdasar kepentingan politik untuk meredam tekanan politik terhadap Presiden Joko Widodo atas tingginya angka pengangguran dan kisruh persepakbolaan nasional. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sepenuhnya, Pasal 157 UU LLAJ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai hukum mengikat,” tegasnya melalui sambungan video conference.
Sebelumnya, pengojek konvensional dari Batam mengajukan uji materiil Pasal 157 UU LLAJ dan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), dan ayat (2b) UU ITE. Rahmani dan Marganti selaku Pemohon yang menguraikan sesuai ketentuan a quo kendaraan bermotor roda dua tidak termasuk ke dalam kategori angkutan umum dalam trayek maupun tidak dalam trayek. Padahal, menurut Pemohon, jauh sebelum ada ketentuan tersebut, sudah ada ojek motor bahkan ojek sepeda yang di beberapa tempat masih eksis hingga sekarang. Dengan demikian, Pemohon merasa bahwa profesinya dipandang ilegal oleh pemerintah atau pihak berwenang.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan dalam permohonannya, aturan ini juga telah menghilangkan atau mengabaikan landasan konstitusional dalam pendelegasian kewenangan untuk mengatur. Menurut Pemohon, dalam ketentuan tersebut disebutkan secara eksplisit, Menteri memiliki kewenangan mengatur, sedangkan dalam konstitusi, Menteri berwenang bukan mengatur. Selain itu, lebih lanjut Pemohon menguraikan, ketentuan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), ayat (2b) UU ITE, telah memberikan pendapat berbeda terhadap penerapan atau penggunaan UU secara \\"hierarki\\" UU LLAJ kedudukannya setara dengan UU ITE. Pasal a quo menjadi dasar timbulnya Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2016 dan juga Peraturan Menteri 26 Tahun 2016 ini merupakan perubahan dari Peraturan Nomor 32 Tahun 2016.
Secara materi, lanjut Marganti, ini sangat memengaruhi mereka yang berprofesi sebagai pengojek konvensional yang menunggu secara mangkal di suatu pangkalan di perumahan. Keberadaan angkutan daring ini, ia hampir setiap hari tidak dapat penumpang karena ongkos mereka lebih mahal dibanding ongkos ojek daring. Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat. (ARS/LA)