Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU Yayasan) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (6/8) siang. Agenda sidang kedua tersebut, yakni perbaikan permohonan. Pemohon adalah Yayasan Mandala Waluya Kendari.
Diwakili kuasa hukum Hamalin melalui video conference dari Kendari, Sulawesi Tenggara, Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan di antaranya terkait kedudukan hukum. “Pemohon beranggapan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,” ujar Hamalin kepada Panel Hakim MK yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji permohonan. “Di antaranya adalah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Mungkin perlu saya bacakan secara lengkap. Kemudian, Pasal 28D ayat (2) menganut prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk bekerja. Dari bekerja ia akan mendapatkan penghasilan berupa gaji, upah, imbalan, atau nama lainnya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Juga mendapatkan perlakuan yang adil. Artinya, kalau kelompoknya mendapatkan hak gaji, ia pun memiliki hak untuk mendapatkan gaji atau upah,” urai Hamalin.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 65/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Ketua Umum Yayasan Mandala Waluya Kendari, La Ode Saafi. Pemohon beranggapan bahwa yayasan merupakan perkumpulan yang didirikan oleh pemilik modal yang ingin menyalurkan harta kekayaannya kepada pihak yang membutuhkan dengan cara mendirikan wadah untuk menyalurkan harta kekayaannya yang diberi nama yayasan. Semata-mata untuk tujuan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan. Pemilik modal tidak mengharapkan imbalan, gaji atau upah, karena memang para pendiri sebagai pemilik modal sudah sangat sejahtera untuk ukuran ekonomi.
Namun menurut Pemohon, apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, maka organ yayasan selaku “pekerja” berhak mendapatkan gaji, upah, imbalan dari yayasan, dan yayasan selaku “pemberi kerja” berkewajiban untuk memberikan gaji, upah, imbalan kepada organ yayasan selaku pekerja. Apabila hal tersebut diabaikan oleh pemberi kerja, maka jelas melanggar hak asasi manusia.
Oleh karena itulah Pemohon menguji Pasal 3 ayat (2) UU No. 16/2001 yang berbunyi, “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus, dan pengawas.”Selain itu Pasal 5 ayat (1) UU No. 28/2004 yang menyebutkan, “Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.”
Menurut Pemohon, Pasal 3 ayat (2) UU No. 16/2001 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 28/2004 selain bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga tidak sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan masuknya pasal hak asasi manusia dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka sebagai konsekuensinya hak-hak setiap warga negara Indonesia harus dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)