Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (6/8) siang. Sri Sudarjo selaku Pemohon menjelaskan perbaikan yang dilakukan kepada Panel Hakim MK yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo. Ia menegaskan pokok permohonan terkait kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar 2018.
“Kemenangan kotak kosong, kemenangan memilih untuk tidak memilih adalah keniscayaan hukum alam atas hukum positif yang selama ini sebagai sinkronisasi dari penyimpangan partai-partai politik yang antidemokrasi dan anti terhadap kedaulatan rakyat,” ujar Sri.
Dijelaskan Sri, tidak ditetapkannya pemimpin atas kemenangan kotak kosong atau kemenangan memilih untuk tidak memilih, maka akan terjadi recht vacuum atau kekosongan hukum dan munculnya calon tunggal yang dikalahkan oleh kotak kosong memilih untuk tidak memilih sebagai pemenang.
“Sejatinya bangsa Indonesia sudah tidak berdemokrasi lagi dalam makna retorik dan tidak menganut sistem kedaulatan rakyat. Hal ini bertentangan dengan hukum alam maupun hukum positif. Munculnya calon tunggal serta ditetapkannya kotak kosong sebagai pemenang tanpa pemimpin seperti yang terjadi di Makassar, apakah ini bisa dikatakan tahap awal pemerintah bermetamorfosis dari penganut paham demokrasi menjadi paham komunis?” kata Sri mempertanyakan.
Kejadian ini, sambung Sri, bisa diindikasikan sistem pemerintahan Indonesia mengalami distorsi yang sebenarnya. Kejadian ini sudah sepantas dan sepatutnya bangsa Indonesia harus waspada dan berhati-hati seperti yang dilansir oleh www.liputan6.com. Peneliti Australia, Ayoana, di antara 40 negara pemantau pencoblosan kotak kosong mengatakan bahwa “Pemilihan dengan satu calon pemimpin tersebut disebut sangat unik.”
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 61/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Sri Sudarjo selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen hadir dalam persidangan.
Pemohon menguji Pasal 222 dan Pasal 226 angka 1 UU Pemilu. Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Seharusnya, kata Sudarjo, pasal frasanya diubah dan dinyatakan tidak mengikat. Ia menyebut seharusnya Pasal 222 diubah menjadi pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 27% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 30% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya dan atau 30% suara pemilih yang tidak memilih partai-partai lainnya. Karena setiap suara yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah suara sah secara nasional. Suara sah tersebut secara otomatis telah bergabung di dalam Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen karena yang memperjuangkan hak memilih dan tidak memilih adalah wujud kedaulatan rakyat. (Nano Tresna Arfana/LA)