Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Rabu (18/7). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 61/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen. Sri Sudarjo selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen hadir dalam persidangan.
Pemohon menguji Pasal 222 dan Pasal 226 angka 1 UU Pemilu. Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Seharusnya, kata Sudarjo, pasal frasanya diubah dan dinyatakan tidak mengikat. Ia menyebut seharusnya Pasal 222 diubah menjadi pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 27% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 30% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya dan atau 30% suara pemilih yang tidak memilih partai-partai lainnya. Karena setiap suara yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap adalah suara sah secara nasional. Suara sah tersebut secara otomatis telah bergabung di dalam Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen karena yang memperjuangkan hak memilih dan tidak memilih adalah wujud kedaulatan rakyat.
“Kenapa harus diubah persentasenya? Karena data untuk tidak memilih jauh lebih besar dari partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya, seperti yang dirilis KPU sejumlah 30,42%,” ucap Sudarjo.
Bukti dan fakta yang dijadikan acuan, sambung Sudarjo, adalah kemenangan kotak kosong di Pemilihan Walikota Makassar sebesar 53,79% suara. Kemenangan ini tidak boleh tidak melahirkan pemimpin karena kotak kosong adalah kontestan atau peserta pemilu yang diatur dalam UU Nomor 10/2016. Pasal 54C ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas 1 kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 kolom kosong yang tidak bergambar.
“Karena dia adalah kontestan pemilu, maka wajib hukumnya diadakan kesepakatan nasional atau konsensus nasional melalui Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen yang memperjuangkan bahwa memilih kotak kosong adalah pilihan karena kemenangan kotak kosong adalah kemenangan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya,” jelas Sudarjo.
Sementara dalam Pasal 226 angka 1 UU Pemilu disebutkan, “Bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu.” Seharusnya pasal frasanya diubah dan dinyatakan tidak mengikat. Pasal 226 angka 1 menjadi bakal pasangan calon didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan/atau Partai Komite Pemerintahan Rakyat Independen ke KPU dan pasangan calon yang suaranya lebih banyak ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang secara demokratis.
Alasan melakukan pengujian Pasal 222 dan Pasal 226 angka 1 UU Pemilu karena KPU belum mengakomodasi angka memilih yang tidak memilih. Karena pemilih yang mengambil sikap tidak memilih termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap. “Karena kami berada dalam daftar pemilih tetap, maka kami adalah suara sah secara nasional dan bisa dikatakan pemenang sah atas pemilihan umum, apabila suara kami melampaui orang-orang yang mencoblos partai lainnya. Karena kemenangan kami pun merupakan representasi sejati dari kemenangan dan kedaulatan rakyat,” tegas Sudarjo.
Permohonan Kabur
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai permohonan Pemohon kabur dalam menjelaskan kedudukan hukum dan pokok permohonan. Ia melihat Pemohon tidak menjelaskan kedudukan hukumnya dengan detail sebagai partai politik atau komite pemerintahan rakyat Indonesia.
“Apakah Anda ini memohon sebagai partai politik atau komite pemerintahan rakyat Indonesia? Itu kan dua hal yang berbeda. Sementara di akta notarisnya memang ada perubahan tentang akta itu, tetapi di sini sudah mengatasnamakan partai politik. Pertanyaan hukumnya kemudian adalah sejak kapan suatu perkumpulan itu boleh menyebut dirinya sebagai partai politik dan bisa bertindak sebagai partai politik? Anda harus jelas. Setelah itu Anda harus menyebutkan pula di sini sebagai calon presiden. Tata cara untuk menjadi calon presiden itu ada. Itu sudah kekaburan,” tandas Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati pokok permohonan Pemohon. “Pokok permohonan sudah benar, satu kesatuan dengan dalil dan alasannya. Jadi tidak perlu kemudian membuat sub lagi argumentasi permohonan, itu tidak perlu. Itu sudah satu kesatuan dengan pokok-pokok Permohonan. Kemudian banyak cerita tentang keluh kesah Anda, tapi tidak menghadapkan pada pertentangannya dengan Konstitusi. Itu yang mestinya Anda harus pertegas dan perjelas. Tidak usah jauh kemana-mana, Kalau Anda sudah mengatakan ada contoh Walikota Makassar yang kalah dengan kotak kosong, satu kalimat saja cukup. Jangan diulang-ulang terus. Seolah menjadi sesuatu yang bisa dieksploitasi, tapi malah kontraproduktif,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)