Lembaga Masyarakat Adat Pegunungan Tengah Lapago mengajukan sengketa Pemilihan Hasil Pemilihan (PHP) Kabupaten Puncak ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (27/7). Dalam sidang perkara Nomor 18/PHP.BUP-XVI/2018 tersebut, Pemohon mempermasalahkan pengesahan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Willem Wandik-Pelinus Banal oleh KPU Kabupaten Puncak. Menurut Pemohon, paslon yang memenangi Pilkada Kabupaten Puncak melawan kolom kosong tersebut menggunakan ijazah palsu.
Refly Harun selaku kuasa hukum Pemohon menceritakan kronologis pencalonan paslon tersebut. Awalnya, paslon yang maju adalah Willem Wandik berpasangan dengan Alus UK Murib. Namun, lanjut Refly, dalam proses pendaftaran di KPU Kabupaten Puncak ternyata terbukti Alus UK Murib menggunakan ijazah palsu S1. “Dengan adanya fakta ini, harusnya KPUD membatalkan pencalonan mereka. Namun hal ini tidak dilakukan,” tegasnya.
KPU Kabupaten Puncak, lanjut Refly, justru mengganti posisi Alus UK Murib dengan Pelinus Banal. Padahal penggunaan ijazah palsu langsung didiskualifikasi oleh KPU setempat, seperti terjadi dalam Pilgub Sumatra Utara yang mendiskualifikasi JP Saragih. Akan tetapi, jelas Refly, hal berbeda justru dilakukan KPU Kabupaten Puncak yang justru meloloskan paslon yang memakai ijazah palsu. “Termohon menunjukkan sikap tidak professional dan cakap dalam bertindak sebagai penyelenggara pemilu,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Arief Hidayat.
Refly menyebut meski paslon pemenang mendapat 143.527 suara dan kolom kosong mendapat 14.813 suara, hal tersebut tidak menjadi masalah. Selisih suara tersebut tidak bisa dikenai Pasal 158 ayat (1) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016. “Dalam petitum kami meminta paslon Willem Wandik-Pelinus Banal didiskualifikasi sebagai peserta pilkada. Selain itu, KPU Kabupaten setempat mesti menyelenggarakan pilkada kembali dengan dimulai dari tahapan pendaftaran paslon,” tegasnya.
Keterlibatan Polisi
Dalam sidang yang sama, digelar pula sidang sengketa Pilkada Provinsi Maluku yang diajukan oleh Pasangan Calon Herman Adrian Koedoeboen-Abdullah Vanath. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 29/PHP.GUB-XVI/2018 dihadiri oleh kuasa hukum pemohon, yakni Henry S Lusikoy. Henry menyatakan kliennya menuding ada kecurangan yang dilakukan dalam proses pemungutan suara. Salah satunya keterlibatan aparat kepolisian, termasuk Wakapolda Maluku yang saat itu dijabat oleh Brigjen Pol Hasanuddin. "Ada keterlibatan dari Wakapolda Maluku. Ada keterlibatan aparat kepolisian, yaitu Wakapolda Maluku dan jajaran di bawahnya," kata Henry saat membacakan permohonan gugatan kliennya.
Henry menyatakan, keterlibatan tersebut terjadi saat kampanye terhadap pasangan calon Murad Ismail-Barnabas Orno. Tidak hanya itu, ada pula keterlibatan aparat sipil negara (ASN). Oleh karena itu, pemohon meminta kepada Mahkamah agar memberikan sanksi berupa pembatalan kemenangan pasangan calon Murad Ismail-Barnabas Orno. Pemohon juga meminta ada pemungutan suara ulang di sejumlah kabupaten. Selain dua daerah tersebut, terdapat juga sidang PHP Kabupaten Sampang dan PHP Kabupaten.
Dokumen Cacat Hukum
Dalam sidang yang sama, MK juga menggelar sengketa PHP Kabupaten Kapuas. Paslon Nomor Urut 2 Mawardi-Muhajirin mempermasalahkan dokumen pencalonan Paslon Nomor Urut 1 Ben Brahim S Bahat-HM Nafiah Ibnor yang dinilai cacat hukum.
Veri Junaidi selaku kuasa hukum Pemohon menyebut beberapa dokumen yang dinilai cacat hukum, seperti surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana, surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilihnya, SKCK, serta surat keterangan tidak memiliki tanggungan utang. “Nafiah mencoret gelar akademik DR dari namanya yang tertulis tanpa seizin instansi yang berwenang,” ujarnya dalam Perkara Nomor 70/PHP.BUP-XVI/2018.
Veri menyebut Nafiah mencantumkan Universitas Attahiriyah sempat menyatakan klarifikasi bahwa yang bersangkutan ikut dalam kuliah S3, namun karena tidak ada izin dari Kementerian Agama (Kemenag), maka tidak ada kelanjutan perkuliahan. Sehingga ijazah yang dipegang yang bersangkutan adalah hasil ijazah inisiatif universitas tanpa legalitas dari Kemenag.
Selain itu, lanjut Veri, paslon pemenang sebagai petahana juga melakukan penggantian pejabat serta memakai program pemerintah untuk menguntungkan petahana. Petahana melakukan lima kali mutasi dalam waktu enam bulan. Selanjutnya, melakukan perubahan APBD dan menyalurkan dana tersebut ke beberapa dinas di Kabupaten Kapuas.
“Secara selisih suara,Pemohon tidak sesuai dengan Pasal 158 ayat (1) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 karena selisih suara mencapai lebih dari 1,5 persen. Namun adanya pelanggaran yang vital terkait legalitas berkas pencalonan, maka kami meminta MK mengabaikan aturan ini,” tegasnya. (Arif/LA)