Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Walikota Bekasi 2018 pada Jumat (27/7) pagi. Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 2 Nur Supriyanto dan Adhy Firdaus selaku Pemohon Perkara Nomor 27/PHP.KOT-XVI/2018 mendalilkan sejumlah pelanggaran selama berlangsung Pemilihan Walikota Bekasi.
Bambang Sunaryo dan Andre Kristian selaku tim kuasa hukum Paslon Nomor Urut 2 menerangkan pelanggaran yang dilakukan Pihak Terkait, yakni Paslon Nomor Urut 1 Rahmat Effendi dan Tri Adhiyanto Tjahjono yang merupakan petahana bukan hanya masalah selisih suara. Tetapi juga gerakan terstruktur sistematis dan masif (TSM) karena ada kecurangan pengerahan aparatur sipil negara yang jelas-jelas dilakukan Sekda Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji. Pemohon juga mempertanyakan jumlah pemilih di Kota Bekasi 1,8 juta orang, namun di Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya 1,4 juta orang.
Soal selisih perolehan suara Pemohon dengan Pihak Terkait, ungkap Bambang Sunaryo, persentase tinggi mencapai 34% yang merupakan angka yang tidak bisa menjadi dasar gugatan sengketa Pilkada. Pemohon memperoleh 335.900 suara, sedangkan Pihak Terkait mendapatkan 697.634 suara.
Bambang beralasan bahwa pihaknya tetap melengkapi bukti pelanggaran yang bersifat TSM yang menjadi fokus mereka. “Kita hanya berharap dengan MK masih ada keadilan dan masih ada kejujuran. Kalau memang hanya persyaratan untuk begitu saja curang dilegalkan, nggak usah ada pemilu,” tegas Bambang Sunaryo ditemui usai sidang.
Penambahan Suara di Tegal
Pada sidang yang sama, MK juga menggelar sidang gugatan Paslon Nomor Urut 4 Habib Ali Zainal Abidin dan Tanty Prasetyoningrum terhadap hasil Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tegal 2018. Diwakili kuasa hukum Petrus Bala Pattyona, Pemohon mengungkapkan sejumlah dugaan penambahan suara di TPS 4 Muarareja. Jumlah surat suara dari DPT ditambah 2,5 persen, yakni sebanyak 365 suara. Namun, tercantum dalam C1, yakni 366 dan pada perhitungan pada tingkat kecamatan berjumlah 368. Hal tersebut menurut Pemohon, ada praktik perbuatan aktif dan disengaja untuk memengaruhi atau menguntungkan pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan jumlah suara.
Selain itu, Pemohon Perkara Nomor 1/PHP.KOT-XVI/2018 ini menduga bahwa di TPS 3 Muarereja terdapat 35 orang yang menggunakan surat A5 yang tidak dikenal masyarakat lingkungan sekitar. Kemudian adanya kotak suara yang tidak ada isinya saa rekapitulasi tingkat kecamatan di Kantor Kecamatan Tegal Timur pada Sabtu, 29 Juni 2018. Seharusnya, kotak suara tersebut berisi formulir model C-KWK berhologram, model C1 KWK berhologram, dan model C2 KWK.
Pemohon juga melihat ada beberapa kecurangan di lapangan selama tahapan pilkada. Seharusnya Pemohon unggul 2 persen berdasarkan data dari C1. Di samping itu ditemukan kecurangan berupa C1 yang sudah masuk ke kotak namun dibuka KPU tanpa ada saksi dari paslon.
Hasil Pemilihan Walikota Tegal 2018 menunjukkan selisih perolehan suara sangat tipis antara Pemohon dengan Pihak Terkait Paslon Nomor Urut 3 Dedy Supriyono dan Muhamad Jumadi sebesar 0,23%. Pemohon meraih 37.775 suara dan Pihak Terkait meraih 38.091 suara.
Sengketa PHP Kada Cirebon
Sementara itu Paslon Nomor Urut 1 Bamunas Setiawan Boediman dan Effendi Edo menggugat hasil Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Cirebon 2018. Hasil Pemilu Walikota Cirebon tersebut menunjukkan bahwa paslon nomor urut 1 memperoleh 78.511 suara. Sedangkan Pihak Terkait yakni Paslon Nomor Urut 2 Nashrudin Azis dan Eti Herawati memperoleh 80.496 suara. Dengan demikian, selisih suara antara kedua paslon tersebut sebesar 1.985 suara atau 1,5% sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum.
Pemohon Perkara Nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018 ini menuntut pemungutan suara ulang (PSU) di 24 TPS di Kota Cirebon. Terhadap hal tersebut, Pemohon telah mengadukan penyelenggara pilkada yaitu KPU Kota Cirebon dan Panwaslu Kota Cirebon ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Banyak ditemukan pelanggaran tapi tak ditindaklanjuti KPU dan Panwaslu. Kami mengajukan keberatan atas hasil rekapitulasi suara di KPU. Proses pilkada sudah tidak sesuai aturan dengan banyaknya kotak suara yang terbuka. Semoga semua bisa berjalan sesuai aturan yang berlaku dan menghasilkan keputusan yang adil,” ujar kuasa hukum Pemohon, Sururudin dari “Ihza & Ihza lawfirm”.
Bentuk pelanggarannya, antara lain berupa pengurangan suara Pemohon secara masif di beberapa TPS Kota Cirebon, penambahan suara bagi pasangan calon lain yang terjadi di beberapa TPS Kota Cirebon, serta ketidaksesuaian data penggunaan surat suara pada model C-KWK yang mengakibatkan pengurangan suara Pemohon dan atau penambahan suara bagi pasangan calon lain. (Nano Tresna Arfana)