Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Selasa (24/7). Dalamsidang mendengarkan perbaikan permohonan tersebut, William Aditya Sarana selaku Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran panel hakim dalam sidang sebelumnya.
Mahasiswa Universitas Indonesia tersebut memperbaiki alasan permohonan dengan menguraikan bahwa tempatnya berkuliah dinyatakan sebagai kampus yang terpapar radikalisme oleh BNPT. Menurutnya, tanpa disertai penjelasan mengenai definisi ‘radikalisme’ sebagaimana tercantum dalam UU Terorisme menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. “Pemohon memahami dengan sangat apabila universitas Pemohon terdapat individu yang radikal terorisme, namun adapula radikal seperti Pemohon, yaitu radikal dalam arti mendasar, fundamental, dan prinsipil, dimana Pemohon radikal untuk mengasihi sesama manusia sesuai ajarannya, Kristus Yesus,” tegasnya.
William menyebut tidak bisa menerima paradigma berpikir yang timbul akibat penggunaan frasa deradikalisasi dan kontra deradikalisasi karena Pemohon tidak mau disamakan dengan teroris. Terlebih lagi, keberlakuan undang-undang a quo dengan penggunaan frasa deradikalisasi dan kontra radikalisasi serta klaim BNPT menyatakan kampus Pemohon terpapar radikalisme tanpa adanya definisi radikal yang jelas. Selain itu, William menjelaskan keberlakuan undang-undang a quo tidak berhasil menyelesaikan hal utama yang harusnya dilakukan dalam pemberantasan terorisme.
Selanjutnya, William menyatakan dirinya seorang nasionalis yang memegang teguh Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan negara. Sebagai Pancasilais, Pemohon tidak mau ada mereka yang melakukan tindakan terorisme ataupun terpapar radikalisme terorisme dan kemudian bersembunyi di belakang kebebasan yang dijamin oleh demokrasi dan Pancasila. Tanpa dinyatakan secara jelas dan eksplisit bahwa terorisme bertentangan dengan Pancasila, akan tetap ada oknum-oknum yang melakukan tindakan terorisme ataupun terpapar radikal terorisme yang membela diri dengan memakai Pancasila. Bagi Pemohon, Pancasila adalah pegangan mutlak dalam kehidupan bangsa dan negara dan tidak boleh disalahgunakan oleh oknum-oknum yang mengiyakan, menyetujui, dan melakukan tindakan terorisme.
“Keberlakuan undang-undang a quo tidak menyatakan secara tegas dan eksplisit bahwa terorisme bertentangan dengan Pancasila, tidak menciptakan efisiensi pemberantasan terorisme, dan tidak mencegah penyalahgunaan Pancasila oleh teroris,” tegasnya.
William yang juga merupakan seorang Kristen menyebut keberlakuan undang-undang a quo yang menciptakan paradigma di masyarakat bahwa mereka yang radikal adalah teroris telah menghambat Pemohon untuk menjalankan dan mengajak sesama menjalankan ajaran gereja tersebut. Sebab, lanjutnya, orang-orang takut untuk menjadi radikal dan mencela mereka yang radikal dalam beriman dengan mengatakan juga radikal akan menjadi teroris.
Permohonan Nomor 55/PUU-XVI/2018 tersebut dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon I) dan William Aditya Sarana (Pemohon II) yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyampaikan Pasal 1 angka 1, Pasal 43A ayat (3) huruf b, Bagian Ketiga, Pasal 43C ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 43F huruf c, Pasal 43G huruf a (UU Terorisme) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (ARS/LA)