Pengojek konvensional dari Batam mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkut Jalan (UU LLAJ) serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 64/PUU-XVI/2018 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (24/7).
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 157 UU LLAJ dan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), dan ayat (2b) UU ITE.
Pasal 157 UU LLAJ
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pasal 40 ayat (1), ayat (2a) dan ayat (2b) UU ITE
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Rahmani dan Marganti selaku Pemohon yang menghadiri sidang melalui video conference menguraikan, sesuai ketentuan a quo kendaraan bermotor roda dua tidak termasuk ke dalam kategori angkutan umum dalam trayek maupun tidak dalam trayek. Padahal, menurut Pemohon, jauh sebelum ada ketentuan tersebut, sudah ada ojek motor bahkan ojek sepeda yang di beberapa tempat masih eksis hingga sekarang. Dengan demikian, Pemohon merasa bahwa profesinya dipandang ilegal oleh pemerintah atau pihak berwenang.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan dalam permohonannya, aturan ini juga telah menghilangkan atau mengabaikan landasan konstitusional dalam pendelegasian kewenangan untuk mengatur. Menurut Pemohon, dalam ketentuan tersebut disebutkan secara eksplisit, Menteri memiliki kewenangan mengatur, sedangkan dalam konstitusi, Menteri berwenang bukan mengatur. Selain itu, lebih lanjut Pemohon menguraikan, ketentuan Pasal 40 ayat (1), ayat (2a), ayat (2b) UU ITE, telah memberikan pendapat berbeda terhadap penerapan atau penggunaan UU secara \\\"hierarki\\\" UU LLAJ kedudukannya setara dengan UU ITE. Pasal a quo menjadi dasar timbulnya Peraturan Menteri Nomor 108 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2016 dan juga Peraturan Menteri 26 Tahun 2016 ini merupakan perubahan dari Peraturan Nomor 32 Tahun 2016.
“Peraturan Menteri Nomor 108 ini menjadi legalitas keberadaan angkutan online. Sementara dalam Undang-Undang Lalu Lintas, Angkutan Jalan itu tidak diatur,” jelasnya dalam Perkara Nomor 64/PUU-XVI/2018.
Secara materi, lanjut Marganti, ini sangat mempengaruhi mereka yang berprofesi sebagai pengojek konvensional yang menunggu secara mangkal di suatu pangkalan di perumahan. Keberadaan angkutan daring ini, ia hampir setiap hari tidak dapat penumpang karena ongkos mereka lebih mahal dibanding ongkos ojek daring. Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebut permohonan Pemohon terlalu panjang dan banyak pengulangan yang tidak efektif. ”Harusnya bisa lebih diefisienkan dan lebih dipadatkan,” tegasnya.
Suhartoyo mempertanyakan adanya judul “gugatan class action” dalam permohonan karena secara konten tidak tepat. Ia menyebut gugatan class action diajukan kelompok masyarakat. Sedangkan mereka hanya berdua saja melakukan permohonan.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan Pemohon ingin mempermasalahkan Peraturan Menteri yang dianggap bertentangan dengan undang-undang, bukan masalah konstitusionalitas norma. Jika maksudnya demikian, ia mengungkapkan permohonan tersebut tidak bias diajukan ke MK karena MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD 1945. “Mohon perbaiki substansinya. Selain itu format permohonan juga diperbaiki,” tegasnya. (ARS/LA)