Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang diajukan Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, Nining Elitos dan para Pemohon lainnya, akhirnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat 96); Pasal 122 huruf l; dan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tidak dapat diterima,” ucap Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Senin (23/7).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah berpendapat Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya menyebutkan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.
Selanjutnya, Palguna menjelaskan secara a contrario berarti Mahkamah berpendirian bahwa adanya persetujuan tertulis dari Presiden dalam konteks Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, persetujuan tertulis dari Presiden dimaksud, tidak berlaku terhadap hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, jika dinarasikan lebih jauh, pengertian yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3 adalah untuk memanggil dan meminta keterangan terhadap anggota DPR yang a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; c) disangka melakukan tindak pidana khusus (yang menurut Penjelasan Pasal 245 ayat (2) huruf C UU MD3 mencakup tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyalahgunaan narkotika) tidak dibutuhkan persetujuan tertulis oleh Presiden.
Pendirian Mahkamah perihal konstitusionalitas persetujuan tertulis dari Presiden dalam konteks Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sejalan dengan pendirian Mahkamah sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk menyatakan Pasal 245 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 245 ayat (2) UU MD3 tidak beralasan menurut hukum.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan a quo sepanjang berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah kehilang objek,” kata Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah untuk Perkara Nomor 34/PUU-XVI/2018.
Sementara itu, permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sepanjang frasa “pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” mutatis mutandis berlaku pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-XVI/2018. Sedangkan permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 245 ayat (2) UU MD3 tidak beralasan menurut hukum.
Pada sidang yang sama, MK juga memutus permohonan uji materiil UU MD3 untuk perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018 yang diajukan Sutanto tidak dapat diterima. Dalam pendapatnya, Mahkamah menyatakan tidak terdapat kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon, baik yang bersifat aktual maupun potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3.
Dengan sendirinya, menurut Mahkamah, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dimaksud Pemohon dengan berlakunya penjelasan pasal dalam undang-undang a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XVI/2018, Nining Elitos dkk., mendalilkan bahwa adanya aturan Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU MD3 mengakibatkan setiap orang dapat dipanggil dengan alasan apapun secara paksa oleh anggota DPR. Dengan aturan tersebut, DPR bisa menggunakan kekuatan polisi untuk memanggil paksa seseorang dengan alasan apapun hanya karena seseorang tersebut menolak memenuhi panggilan DPR yang berdampak anggota DPR dapat melakukan pemerasan dan pengancaman kepada siapapun.
Sementara Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018, Sutanto mendalilkan bahwa anggota MPR tidak dipilih melalui Pemilu, sehingga status keanggotaan tergantung pada status keanggotaannya sebagai anggota DPR atau anggota DPR. Pemohon mendasarkan pada Pasal 1 UU Pemilu berbunyi, “Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Menurut Pemohon, jika memperhatikan Pasal 2 UU MD3, anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilu, sehingga ketentuan mengenai keanggotaan, tata cara, dan prosedur pada status keanggotaan di DPR dan DPD berlaku juga secara mutatis mutandis terhadap status keanggotaan di MPR. (Nano Tresna Arfana/LA)