Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik. Hal ini tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menguji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan dari permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hafidz tersebut dibacakan pada Senin (23/7).
Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.
Sebelumnya dalam permohonannya, Muhammad Hafidz menguraikan keberadaan dirinya dalam lembaga DPD yang merupakan representasi masyarakat lokal untuk mewakili daerahnya menyatakan Pasal 182 huruf I sepanjang frasa “pekerjaan lain” mengandung ketidakjelasan maksud. Sebab, sebagai fungsionaris parpol berikut juga sebagai anggota DPD yang memiliki jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan kepengurusan di parpol sudah dapat dipastikan akan mengalami konflik kepentingan di antara kedua jabatan tersebut. Dengan demikian, menurutnya sangat terbuka kemungkinan adanya konflik kepentingan meskipun parpol yang menjadi wadah aspirasi politiknya tidak ikut menjadi peserta pemilu. Hal tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi karena masih adanya kemungkinan bagi parpol yang dimaksud pada pemilu yang akan datang bagi parpolnya untuk kembali mendaftar jadi peserta pemilu.
Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah menyebut tidak adanya penjelasan terhadap “pekerjaan lain”, maka dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD. Lebih lanjut Aswanto menyebutkan, dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahwa perseorangan warga negara yang sekaligus pengurus partai politik boleh atau dapat menjadi anggota DPD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Apabila ditafsirkan dapat atau boleh, maka hal tersebut bertentangan dengan hakikat wujud representasi daerah sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda. Sebab, jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik tersebut terpilih, maka partai politik dari mana anggota DPD berasal secara faktual akan memiliki wakil, baik di DPR maupun di DPD, sekalipun yang bersangkutan menyatakan perseorangan tatkala mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD. Dengan demikian, hal ini berarti bertentangan dengan semangat Pasal 22D UUD 1945. Sebaliknya, jika ditafsirkan tidak dapat atau tidak boleh maka larangan demikian juga tidak secara eksplisit disebutkan dalam pasal a quo.
“Oleh karena itu, Mahkamah menegaskan perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik,” jelas Aswanto di hadapan sidang yang dihadiri Muhammad Hafidz selaku Pemohon.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi I Dewa Palguna menjelaskan untuk Pemilu 2019 karena proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik yang telah dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri yang dimaksud. “Dengan demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Palguna. (Sri Pujianti/LA)