Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) untuk permohonan Nomor 48/PUU-XVI/2018 dan 53/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/7) siang. Sidang kedua tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto.
Diwakili kuasa hukum Rian Ernest, Pemohon Perkara 48/PUU-XVI/2018 menyampaikan perbaikan permohonan terkait kedudukan hukum. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selaku Pemohon pada 23 April 2018 memuat publikasi di Harian Jawa Pos yang isinya berupa pengumuman dan ajakan untuk berpartisipasi memberi masukan terkait calon wakil presiden dan calon menteri kabinet Presiden Joko Widodo Tahun 2019. Pemohon telah dilaporkan oleh Bawaslu kepada Bareskrim Mabes Polri atas dasar dugaan tindak pidana pemilu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 Undang-Undang Pemilu juncto Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pemilu.
“Pemohon yang berniat melakukan kegiatan pendidikan politik dan sosialiasi maupun pengumpulan pendapat umum melalui polling, telah dicap bersalah melakukan ‘curi start’ kampanye oleh pihak-pihak berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Pemilu 2017 khususnya pada frasa dan/atau citra diri. Meskipun dalam perkembangannya Kepolisian Republik Indonesia telah menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Maret 2018. Namun fakta bahwa reputasi nama baik Pemohon telah terciderai, seolah-olah Pemohon telah melawan suatu perundang-undangan yang berlaku. Itu adalah revisi kami, Yang Mulia Majelis Hakim, untuk bagian legal standing,” papar Rian.
Selain itu, Pemohon memberikan tambahan pada bagian C mengenai kerugian konstitusional Pemohon, terutama pada Angka 6, lebih khususnya pada huruf B. Pemohon sebagai partai politik baru dan akan pertama kali ikut Pemilu 2019, telah dipasung haknya untuk berpolitik secara penuh karena sudah dipaksa untuk tidak beriklan dan hanya beriklan dengan alokasi yang sama dengan berbagai partai yang sudah puluhan tahun ada di Indonesia.
“Pemohon mengalami beratnya verifikasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Komisi Pemilihan Umum. Sampai kali ini Pemohon tidak diberi kesempatan untuk melakukan iklan serta sosialisasi politik. Menurut Pemohon, hal ini dapat diibaratkan dengan memaksa Pemohon untuk bertinju dengan satu tangan terikat di belakang. Dengan timpangnya posisi awal Pemohon dan minimnya peluang untuk beriklan, dengan tujuan meningkatkan kesadaran publik tentang visi, misi, dan program PSI selama masa kampanye, maka kemungkinan besar partai-partai politik baru termasuk Pemohon hanya ikut serta dalam pemilu nasional, hanya satu kali saja karena tidak lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold,” urai Rian.
Sebelumnya, PSI menguji Pasal 1 angka 35, Pasal 20, Pasal 275 ayat (2) serta Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu. Pemohon mengajukan uji materiil pasal tersebut terkait kesempatan mengajukan kampanye karena menurut UU a quo, sebagian besar proses kampanye akan diambil alih oleh KPU dan pada proses kemudian, difasilitasi oleh KPU. Pemohon berharap, sebagai partai baru agar diizinkan untuk bisa berkampanye lebih panjang. Menurut Pemohon, batas waktu kampanye 21 hari sesuai UU a quo menciderai hak konstitusional Pemohon sebagai parpol baru.
Sementara itu, Pemohon Perkara 53/PUU-XVI/2018, Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim yang merasa dirugikan dengan sanksi pidana sebagaimana tercatum Pasal 429 UU Pemilu. Para Pemohon terancam oleh ketentuan pidana akibat kampanye pemilu di luar jadwal yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 492 UU Pemilu. Hal tersebut setidaknya akan menghalangi hak konstitusional para Pemohon untuk mewujudkan partai yang ideal bagi rakyat, dengan meminta masukan dan atau tanggapan dari masyarakat terkait dengan keberpihakan setiap orang perorangan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dan dasar alasan memilih yang ia akan pilih dalam kontestasi pemilihan umum. (Nano Tresna A./LA)