Masuknya pengurus partai politik ke dalam DPD akan berimbas tak hanya pada keberpihakan pada posisi partainya, namun juga dapat memengaruhi kerja DPD. Hal tersebut disampaikan Bivitri Susanti selaku ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (10/7).
“Jadi, di sini terlihat jelas karakter konstitusional DPD yang menjadi berubah akibat masuknya pengurus partai politik. DPD berubah, bukan lagi wakil daerah tetapi mesin partai yang mewakili sekelompok orang dalam partai politik,” urai ahli hukum tata negara di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi enam hakim konstitusi lainnya.
Bivitri menyampaikan bahwa kepentingan sebagai anggota DPD dimaknai sebagai kepentingan yang dilandaskan pada kondisi daerah. “Sedangkan kepentingan sebagai pengurus partai politik, berkaitan langsung dengan agenda jangka pendek partai politik yang seringkali bergantung pada posisi partai vis a vis pemerintah. Apakah partai tersebut mendukung atau tidak mendukung pemerintah? Di sinilah kepentingan ini bisa berbenturan,” tegas Bivitri.
Benturan tersebut, lanjut Bivitri, dapat terjadi karena dua hal, yaitu soal posisi politik terhadap pemerintah serta soal kepentingan politik dan ekonomi lokal yang umumnya sudah terkavling dalam elite lokal yang tergambar pada partai politik.
Tafsir Ulang
Di samping itu, terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 30/XVI-PUU/2018 tersebut, Bivitri berpendapat bahwa DPD merupakan lembaga yang didesain untuk mewakili daerah. Oleh pembahas amendemen UUD 1945, lanjutnya, lembaga ini dibentuk untuk lebih menguatkan daerah dan menciptakan kesejahteraan rakyat yang lebih merata. Akibatnya, dibuat wewenang yang spesifik pada urusan tertentu dengan model pemilu yang berbeda, yakni bukan dicalonkan oleh partai politik. “Saya memohon Mahkamah untuk memberikan penafsiran konstitusional yang kukuh bagi DPD sebagai lembaga perwakilan daerah bahwa desain konstitusional DPD harus dijaga dengan memastikan karakter keterwakilannya tidak diubah melalui kebijakan yang sifatnya lebih diwarnai kepentingan jangka pendek ketimbang prinsip konstitusional,” pinta Bivitri.
Sebelumnya Muhammad Hafidz selaku Pemohon menguraikan keberadaan dirinya dalam lembaga DPD yang merupakan representasi masyarakat lokal untuk mewakili daerahnya menyatakan Pasal 182 huruf I sepanjang frasa “pekerjaan lain” mengandung ketidakjelasan maksud. Sebab, sebagai fungsionaris parpol berikut juga sebagai anggota DPD yang memiliki jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan kepengurusan di parpol sudah dapat dipastikan akan mengalami konflik kepentingan di antara kedua jabatan tersebut. Dengan demikian, menurutnya sangat terbuka kemungkinan adanya konflik kepentingan meskipun parpol yang menjadi wadah aspirasi politiknya tidak ikut menjadi peserta pemilu. Hal tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi karena masih adanya kemungkinan bagi parpol yang dimaksud pada pemilu yang akan datang bagi parpolnya untuk kembali mendaftar jadi peserta pemilu. (Sri Pujianti/LA)