Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU pemilu) dengan perrkara Nomor 48/PUU-XVI/2018 dan 53/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/7) siang.
Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVI/2018 adalah Partai Solidaritas Indonesia, diwakili kuasa hukumnya Surya Tjandra menguji Pasal 1 angka 35, Pasal 20, Pasal 275 ayat (2) serta Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu. “Alasan kami mengajukan pasal-pasal tersebut, terkait kesempatan mengajukan kampanye, Majelis. Menurut undang-undang ini, sebagian besar proses kampanye akan diambil alih oleh KPU dan pada proses kemudian, difasilitasi oleh KPU. Kami berharap, khususnya karena kami adalah partai baru, supaya diizinkan untuk bisa berkampanye lebih panjang. Karena kalau mengikuti persis kata undang-undang, cuma 21 hari totalnya. Jadi, harapan kami adalah bisa diberikan peluang, semacam affirmative action khusus bagi pasal partai-partai politik baru dapat melakukan kampanye lebih panjang, kira-kira seperti itu,” tambah Surya.
Selain itu, kata Surya, ada frasa “citra diri” dalam undang-undang yang pada kasus dalam konteks Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sempat hampir menimbulkan korban bagi Sekjen dan Wakil Sekjen PSI hampir dipidana karena dianggap melakukan kampanye di luar jadwal. “Citra diri ditafsirkan secara cukup sepihak oleh Bawaslu sebagai semua yang menyebutkan angka dan logo partai sebagai kampanye. Jadi, waktu itu PSI mengajukan iklan yang berisi meminta masukan masyarakat terkait calon-calon wakil presiden dan calon-calon menteri Kabinet Jokowi 2019 sampai 2024,” ungkap Surya.
Sementara itu, Pemohon Perkara 53/PUU-XVI/2018, Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim yang merasa dirugikan dengan sanksi pidana sebagaimana tercatum Pasal 429 UU Pemilu. “Para Pemohon terancam oleh ketentuan pidana akibat kampanye pemilu di luar jadwal yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 492 Undang-Undang Pemilu,” kata Abdul Hakim.
Hal tersebut, lanjut Abdul Hakim, setidaknya akan menghalangi hak konstitusional para Pemohon untuk mewujudkan partai yang ideal bagi rakyat, dengan meminta masukan dan atau tanggapan dari masyarakat terkait dengan keberpihakan setiap orang perorangan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dan dasar alasan memilih yang ia akan pilih dalam kontestasi pemilihan umum.
“Dengan dikabulkannya permohonan a quo, maka para Pemohon dapat ikut serta mengakomodir aspirasi rakyat, sehingga para Pemohon bersama-sama partai politik pilihan para Pemohon dapat menyusun visi, misi dan program yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Oleh karenanya, maka para Pemohon berpendapat telah memiliki kedudukan hukum dalam permohonan,” urai Abdul Hakim.
Menanggapi permohonan Pemohon Perkara 48/PUU-XVI/2018 dan 53/PUU-XVI/2018, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai secara format sebetulnya tidak ada problem yang serius. Khusus Pemohon Perkara Nomor 48/PUU-XVI/2018, Saldi menyarankan kepada para Pemohon untuk memperjelas kedudukan hukum Pemohon. “Sebetulnya tidak ada masalah karena ini memang partai politiknya partai politik baru, belum terlibat dalam pembentukan undang-undang. Jadi, meskipun demikian, kita menyarankan supaya bisa lebih mempertajam uraian soal kerugian konstitusional,” imbuh Saldi.
Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto menyoroti adanya beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Ada Pasal 28D, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), ayat (2). “Tolong nanti dilihat betul mana sebenarnya pasal yang lebih tepat dijadikan sebagai dasar pengujian,” pinta Aswanto.
(Nano Tresna Arfana/LA)