Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) Sabela Gayo mengajukan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi), Selasa (4/7). Sabela menguji sejumlah pasal, di antaranya Pasal 1 angka 2, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 26 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 29 ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (1), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 59 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU a quo.
Sabela meminta agar asosiasi profesi adalah satu-satunya organisasi yang berhak dan berwenang secara hukum dan perundang-undangan dalam memberikan pendidikan profesi. Sebelumnya Pemohon di hari Senin, (2/7) juga mengajukan perkara serupa, namun UU yang diuji adalah UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
APPI sebagai badan hukum Perkumpulan yang sah dan diakui oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, kata Sabela, berhak untuk mengembangkan diri melalui program-program Pendidikan dan Pelatihan di bidang Hukum Pengadaan Publik dalam rangka meningkatkan kualitas para Advokat/Pengacara umum agar memiliki kompetensi sebagai Pengacara Pengadaan sesuai dengan standar internasional IFPSM. Karena itu, lanjutnya, aturan mengenai pendidikan profesi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah membatasi ruang gerak APPI dan merampas hak konstitusional APPI. Hak yang dimaksud, yakni untuk mengembangkan diri melalui program-program pendidikan dan pelatihan pengacara pengadaan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anggotanya.
Selain itu, Sabela mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 yang pada intinya mewajibkan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Hukum minimal terakreditasi B bertentangan dengan penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa “Program profesi merupakan tanggung jawab dan kewenangan Kementerian, kementerian lain, LPNK dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi”.
“Penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi tersebut membuktikan bahwa organisasi profesi-lah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam menjalankan pendidikan profesi dan bukan sebaliknya seperti yang selama ini yang terjadi di lapangan sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016 tersebut bahwa Perguruan Tinggi yang justru seolah-olah berwenang menyelenggarakan pendidikan profesi,” tegasnya menguraikan perkara Nomor 47/PUU-XVI/2018.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan bahwa pendidikan profesi bukan merupakan ruang lingkup dari pendidikan tinggi sebagaimana yang telah diatur oleh UU Pendidikan Tinggi. Selain itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan bahwa pendidikan profesi merupakan kewenangan absolut dari asosiasi profesi dalam menentukan standar mutu dan prosedur sertifikasi pendidikan profesi yang sesuai dengan bidang profesinya masing-masing dan bukan merupakan kewenangan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan profesi.
“Menyatakan bahwa Perguruan Tinggi tidak berhak dan tidak berwenang dalam memberikan gelar profesi. Menyatakan bahwa Asosiasi Profesi adalah satu-satunya organisasi yang berhak dan berwenang secara hukum dan perundang-undangan dalam menentukan standar kompetensi mutu layanan profesi Menyatakan bahwa Asosiasi Profesi adalah satu-satunya organisasi berhak dan berwenang memberikan gelar profesi,” tandasnya.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta Pemohon memperjelas kedudukan hukum, mewakili pribadi ataukah asosiasi profesi. Selain itu, Palguna memandang Pemohon justru lebih banyak membahas informasi tentang asosiasi profesi dibandingkan dengan kerugian konstitusional yang berdampak untuk dirinya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang mengkritisi masalah kedudukan hukum Pemohon. Menurutnya, kedudukan Pemohon ambigu, karena menampakkan kedudukan hukum sebagai pribadi dan juga sebagai badan hukum asosiasi profesi. “Ini harus ditegaskan pada posisi mana Saudara ambil posisi terkait hal ini,” jelasnya. (ARS/LA)