Aturan ambang batas pencalonan presiden sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (3/7) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018 dan 50/PUU-XVI/2018 tersebut diajukan oleh para aktivis pro demokrasi dan juga perseorangan warga negara.
Para aktivis demokrasi yang terdiri dari Muhammad Busyro Muqoddas, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, dkk., Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diwakili Titi Anggraini mempermasalahkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Hadir dalam sidang perdana, Hadar menjelaskan ambang batas pencalonan presiden pada dasarnya adalah “syarat” calon presiden. Sedangkan ketentuan yang didelegasikan oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 adalah “tata cara” pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. “Padahal secara gramatikal “syarat” dan “tata cara” adalah berbeda,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Hadar menyebut ambang batas 25% berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu nyata-nyata menambahkan pembatasan baru, yang tidak ada dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu berdasarkan hasil suara dan kursi “Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Hal demikian, lanjutnya, bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai original intent atau perumusan norma tersebut, yakni sesuai pemilu yang saat itu akan dilaksanakan.
“Berdasarkan berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, khususnya Buku V tentang Pemilihan Umum, tidak terdapat pembahasan original intent terkait syarat presidential threshold. Tidak ada pembatasan ambang batas pencalonan presiden, apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional pemilu DPR berdasarkan hasil pemilu 5 (lima) tahun sebelumnya,” tegasnya.
Hadar juga menyinggung tentang Putusan MK sebelumnya yang menyatakan pasal terkait ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional karena syarat calon presiden itu merupakan norma hukum yang terbuka (open legal policy). Menurutnya, ketentuan pasal undang-undang terkait ambang batas pencalonan presiden (termasuk Pasal 222 UU Pemilu) bukanlah penerapan dari konsep open legal policy karena UUD 1945 secara jelas telah memberikan pembatasan-pembatasan seharusnya syarat dan tata cara pemilihan presiden tersebut harus dilakukan.
Terakhir, Hadar menambahkan Pasal 222 UU Pemilu yang mendasarkan penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR yang 5 (lima) tahun sebelumnya, nyata-nyata telah menghilangkan hak rakyat untuk memperbarui mandat lima tahunan. Hal ini karena pemilihan presiden masih didasarkan pada pemilu yang telah berlalu, dan sangat boleh jadi tidak lagi sesuai dengan aspirasi rakyat pemilih. “Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan Capres tunggal sehingga bertentangan dengan Pasal 6A ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945,” jelasnya.
Sementara Nugroho Prasetyo selaku Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018 melalui kuasa hukumnya Heriyanto menyatakan, kliennya merupakan warga negara Indonesia, yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden Republik Indonesia tanggal 19 Juni 2018. Pemohon merupakan pendiri Ormas Front Pembela Rakyat dan Ormas Garda Indonesia. Akan tetapi, lanjutnya, dengan adanya aturan ambang batas pencalonan presiden telah membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mencari parpol pengusung dalam lingkup parpol peserta Pemilu 2014 saja. Padahal, lanjut Heriyanto, ada empat partai politik baru seperti Partai Beringin Karya (Berkarya), Partai Solidaritas Indonesia, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang berpeluang bagi Pemohon dekati guna mengusung Pemohon sebagai calon presiden.
“Pemohon memiliki potensi besar untuk dijadikan calon presiden oleh partai-partai baru dikarenakan Pemohon memiliki kelompok pergerakan Front Pembela Rakyat (FPR) dan Garda Indonesia yang telah terbentuk di 517 kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Ormas tersebut dapat meningkatkan perolehan suara partai politik (vote getters). Partai politik baru butuh Pemohon sebagai calon presiden untuk meningkatkan perolehan suara pada pemilu tahun 2019,” tegasnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta agar kedudukan hukum (legal standing) Pemohon diperbaiki. Terutama, lanjutnya, terkait siapa yang berhak mewakili organisasi Perludem dan PP Muhammadiyah. ”Perlu dilampirkan bukti formil bahwa Pemohon memang mewakili dua organisasi tersebut,” jelasnya.
Selain itu, Palguna meminta alasan baru terkait adanya kerugian konstitusional yang dialami Pemohon karena perkara serupa sudah pernah diputus oleh MK. Sementara, untuk perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018, ia meminta agar tidak memuat pernyataan pengandaian dalam kedudukan hukum.
Adapun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengkritisi kedudukan hukum Pemohon perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018 sebagai perseorangan yang mendalilkan posisinya sebagai warga negara pembayar pajak. Menurutnya, alasan tersebut kurang tepat dan meminta Pemohon mengganti dengan alasan lain. (ARS/LA)