Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/7). Perkara dengan Nomor 39/PUU-XVI/2018 digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, yakni Direktur SA Institute Suparji.
Dalam keterangannya, Suparji menjelaskan bahwa reformasi telah mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang memiliki peradaban demokrasi modern. Sebagai implementasi nilai demokrasi, maka tidak boleh terjadi perbedaan perlakuan terhadap alat kelengkapan dewan.
“Prinsip ini harus dijunjung tinggi dan dalam implementasinya tidak boleh dikalahkan dengan pertimbangan lain karena keadilan merupakan nilai yang universal. Guna memastikan konstitusionalitas pengaturan tentang alat kelengkapan, maka semua alat kelengkapan DPR harus diperlakukan secara adil, tidak boleh diskriminatif dan tidak boleh dilakukan intervensi oleh alat kelengkapan yang lain,” tegas Suparji.
Suparji mengungkapkan bahwa Pasal 180A UU MD3 yang berbunyi, “Sebelum pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang tentang APBN antara Badan Anggaran dan Pemerintah pada Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Pasal 170, Badan Anggaran wajib mengonsultasikan dan melaporkan hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dalam rapat Pimpinan DPR” tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi. Hal tersebut karena Pimpinan DPR memperlakukan secara diskriminatif dan berpotensi dapat melakukan intervensi terhadap Badan Anggaran.
Sedangkan, ketentuan Pasal 427A huruf a UU MD3 yang berbunyi, “Pada saat Undang-Undang ini berlaku: Pimpinan MPR dan DPR yang berasal dari fraksi yang sedang menjabat tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhirnya periode keanggotaan MPR dan DPR hasil Pemilihan Umum Tahun 2014” dinilai tidak sesuai dengan nilai Konstitusi karena tidak memuat nilai kepastian hukum dalam hal terjadi pergantian antarwaktu pimpinan.
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, MK juga menggelar sidang pengujian UU MD3 dengan Pemohon berbeda. Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XVI/2018 hanya memberikan keterangan tertulis dari Ahli Pemohon. Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVI/2018 melalui surat resmi menyatakan untuk mencabut permohonan.
Dalam permohonannya, Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018, Sutanto mendalilkan bahwa anggota MPR tidak dipilih melalui Pemilu, sehingga status keanggotaan tergantung pada status keanggotaannya sebagai anggota DPR atau anggota DPRD. Pemohon mendasarkan pada Pasal 1 UU Pemilu berbunyi, “Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”
Menurut Pemohon, jika memperhatikan Pasal 2 UU MD3, anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilu, sehingga ketentuan mengenai keanggotaan, tata cara, dan prosedur pada status keanggotaan di DPR dan DPD berlaku juga secara mutatis mutandis terhadap status keanggotaan di MPR.
Sedangkan Pemohon Perkara Nomor 34/PUU-XVI/2018, Nining Elitos dkk., mendalilkan bahwa adanya aturan Pasal 73 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU MD3 mengakibatkan setiap orang dapat dipanggil dengan alasan apapun secara paksa oleh anggota DPR. Dengan aturan tersebut, DPR bisa menggunakan kekuatan polisi untuk memanggil paksa seseorang dengan alasan apapun hanya karena seseorang tersebut menolak memenuhi panggilan DPR yang berdampak anggota DPR dapat melakukan pemerasan dan pengancaman kepada siapapun.
Selanjutnya Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVI/2018, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia bersama para Pemohon lainnya mendalilkan bahwa proses legislasi UU MD3 setidaknya melanggar dua persyaratan formil pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, pembahasan UU MD3 dilakukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tanpa sepengetahuan dan izin Presiden. Kedua, Presiden tidak memberikan persetujuannya yang ditandai dengan tidak menandatangani pengesahan UU MD3. (Nano Tresna Arfana/LA)