Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi). Demikian ketetapan MK yang dibacakan Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (28/6) siang. “Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ucap Anwar yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Anwar menyebut Mahkamah telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui sidang panel pada 6 Juni 2018 dan sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Panel Hakim MK telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Selanjutnya, Mahkamah telah menerima surat penarikan permohonan dari para Pemohon bertanggal 19 Juni 2018 perihal pencabutan permohonan pengujian Pasal 84 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada 21 Juni 2018.
Penarikan permohonan sebagaimana dimaksud di atas telah ditegaskan kembali dengan pernyataan kuasa para Pemohon dalam sidang perbaikan permohonan pada 26 Juni 2018. Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”.
Terhadap permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 26 Juni 2018 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 44/PUU-XVI/2018 beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Andi Muhammad Asrun menguji Pasal 84 ayat (2) dan (5) UU Jasa Konstruksi. Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang memiliki latar belakang sebagai pengurus lembaga pengembangan jasa konstruksi provinsi di beberapa daerah. Pemohon mendalilkan lembaga pengembangan jasa konstruksi sebagaimana hukum publik, dibentuk dengan eksistensi memiliki landasan hukum Undang-Undang Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah Nomor 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi serta Peraturan Pemerintah Nomor 4/2010 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 84 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 telah melahirkan situasi ketidakpastian masa depan ekstensi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi di provinsi. Pasal a quo juga berpotensi menghilangkan aset kantor, kendaraan, keuangan, dan sistem informasi jasa konstruksi yang semuanya berasal dari pendanaan privat serta sumber daya manusia yang menimbulkan kemungkinan aset kantor, kendaraan, keuangan, dan sistem informasi jasa konstruksi diambil alih oleh pemerintah pasca dibentuknya perwakilan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi nasional yang berbeda dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi provinsi. (Nano Tresna Arfana/LA)