Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materiil tentang aturan mengenai syarat masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 2 (dua) kali berturut-turut seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Putusan perkara Nomor 36/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Muhammad Hafidz serta dua Pemohon lainnya dibacakan pada Kamis (28/6). “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Pemohon, pembatasan masa jabatan calon Presiden dan Wakil Presiden, di antaranya karena dilatarbelakangi praktik ketatanegaraan di Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun tidak mengalami pergantian Presiden, sehingga menciptakan pemerintahan suasana otoriter dan kesewenang-wenangan. Sementara Pemohon perkara Nomor 40/PUU-XVI/2018 yang menyatakan Penjelasan Pasal 169 UU Pemilu tersebut pada frasa maupun tidak berturut-turut mengandung tafsir yang tidak sejalan dan tidak senafas, serta bertentangan sama sekali dengan dasar filosofis serta yuridis terhadap Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 6A Ayat (1) dan Pasal 7 UUD 1945. Pemohon beranggapan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung terpasung oleh penjelasan pasal yang memberi batas periodesasi atau masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dibatasi untuk masa jabatan. Untuk itu, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan pasal-pasal tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon mengaitkan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Dalam hal ini, para Pemohon menyatakan program yang diusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 tidak akan dapat dilanjutkan apabila Joko Widodo tidak berpasangan dengan Jusuf Kalla yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden periode 2004-2009.
Menelaah substansi norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu dalam permohonan a quo, telah menjadi terang bagi Mahkamah bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan dalilnya yang terkait dengan kedudukan hukum yang pada pokoknya harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: (1) diberikan hak konstitusional oleh UUD 1945; (2) potensial akan dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu; (3) kerugian konstitusional tersebut mempunyai causal verband dengan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu yang dimohonkan pengujian; (4) apabila permohonan dikabulkan, potensi kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi.
“Ketika persyaratan pengujian dalam menjelaskan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan tidak dapat dijelaskan secara meyakinkan, maka tidak ada keraguan sama sekali bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon,” jelas Saldi yang membacakan pendapat Mahkamah. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo.
Penegasan Putusan MK
MK juga memutus pengujian UU Pemilu (Perkara Nomor 40/PUU-XVI/2018) yang diajukan oleh Pemohon berbeda, Syaiful Bahari dan Aryo Fadlian. Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 bertanggal 28 Juni 2018 pada pokoknya telah menegaskan bahwa secara konstitusional UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan, untuk menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Berkenaan dengan cara pemilihan dimaksud, Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan konstruksi konstitusional yang demikian, warga negara yang memiliki hak pilih baru dapat dinilai menjadi kehilangan hak konstitusionalnya bilamana terdapat pasal atau pasal-pasal atau bagian tertentu dalam UU Pemilu termasuk Penjelasannya atau undang-undang lain yang menghilangkan hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilih mereka.
“Dengan menggunakan substansi putusan MK tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, keberadaan Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama sekali tidak menghilangkan hak para Pemohon untuk menggunakan hak untuk memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945,” urai Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Terkait dengan dalil yang menyatakan para Pemohon adalah pembayar pajak dan karenanya memiliki hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang, menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak tidak serta-merta memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusionalk atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitan dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak memang menunjukkan kerugian yang nyata.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, alasan untuk dapat mengajukan permohonan pengujian norma, tidak cukup dengan hanya mendalilkan sebagai pembayar pajak tanpa terlebih dahulu menjelaskan kerugian konstitusional yang nyata atau potensial dan terdapat hubungan sebab akibar antara kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan bagian-bagian tertentu dari suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke Mahkamah. Ihwal substansi Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu sebagaimana ditegaskan dalam subtansi Putusan MK Nomor 36/PUU-XVI/2018 adalah seseorang yang pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama secara tidak berturut-turut. Dalam permohonannya, para Pemohon bukanlah orang yang pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama secara tidak berturut-turut.
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon. Dengan demikian, tidak ada keraguan sedikit pun bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. (Nano Tresna Arfana/LA)