Tidak adanya pengesahan DPR dalam menyusun perjanjian internasional bukan berarti masyarakat tidak dilibatkan karena keduanya tidak berkorelasi. Hal ini disampaikan oleh Hikmahanto Juwana selaku ahli Pemerintah dalam uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional). Sidang lanjutan perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (25/6).
Dalam keterangannya, Hikmahanto menyebut pelibatan masyarakat dalam suatu perjanjian internasional tidak selalu berkorelasi dengan adanya persetujuan dari DPR. Menurutnya, pelibatan masyarakat bisa melalui forum-forum diskusi, baik yang diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, bahkan yang diinisiasi oleh kementerian yang memiliki suatu kepentingan atas perjanjian internasional. “Pelibatan tidak hanya ketika suatu perjanjian internasional dirundingkan atau pada saat akan disahkan, tetapi sejak awal mula perjanjian internasional dibutuhkan, namun belum ada teksnya,” jelas pakar hukum internasional tersebut.
Hikmahanto mengungkapkan bahwa pelibatan masyarakat saat ini, belum dilakukan secara massif. Kendala yang dihadapi karena ada pemikiran di masyarakat yang menganggap masalah internasional merupakan masalah Pemerintah. Ia menganggap pemikiran tersebut telah using dan perlu diubah. “Banyak isu dalam perjanjian internasional dimana masyarakat perlu didengar suaranya. Di sinilah menurut saya pentingnya Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan diberi kesempatan yang luas untuk memberikan pandangan-pandangannya,” paparnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Akan tetapi, sambung Hikmahanto, langkah uji materiil yang meminta pembatalan sejumlah frasa dalam UU Perjanjian Internasional tidak perlu dilakukan. Ia beranggapan pembatalan sejumlah frasa akan mengubah secara fundamental kontruksi, prosedur, dan proses suatu perjanjian internasional sejak diwacanakan hingga pada akhirnya diikuti.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Peran DPR untuk menyetujui sebuah perjanjian internasional dianggap tereduksi dengan berlakunya Pasal 2 UU Perjanjian Internasional. Hal tersebut karena pasal a quo telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR”dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”. Lebih lanjut dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa persetujuan oleh DPR terhadap pembuatan perjanjian internasional menjadi sangat penting karena membuat perjanjian internasional berarti negara telah memberikan sebagian kedaulatannya. Apalagi terhadap perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.
Oleh karena itu, Pemohon menilai persetujuan oleh DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting. Apalagi terkait dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Kata “pengesahan” mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR di bagian akhir penyusunan perjanjian Internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, telah memberikan pembatasan (limitasi) jenis perjanjian internasional yang harus disahkan melalui UU. Dengan demikian, untuk materi perjanjian internasional di luar ketentuan Pasal 10 UU a quo harus disahkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (keputusan presiden). Oliver melanjutkan, terkait Pasal 11 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU a quo. Maka, pasal a quo juga dinilai bertentangan dengan Konstitusi. (ARS/LA)