DPR menargetkan akan menyelesaikan seleksi hakim konstitusi akhir maret mendatang. "Semoga sebelum 31 Maret sudah selesai dilantik dan diambil sumpah," kata Anggota Komisi III DPR RI Lukman Hakim Syaifuddin di Jakarta, Selasa (4/3).
Lukman mengatakan, jika tidak ada rapat paripurna maka DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan pada 11-12 Maret. Namun, lanjut dia, kalau rapat paripurna dilakukan pada tanggal 12, maka tahapan seleksi tersebut akan dilakukan setelahnya. "Kami masih menunggu kepastian dari Bamus (Badan Musyawarah-red)," ujar Lukman.
Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengakui bahwa di DPR masih terjadi perdebatan mengenai kriteria hakim konstitusi. "Karena yang diukur bukan matematika, tetapi kualitas," kata Lukman.
Menurut dia, DPR adalah sebuah lembaga politik, sehingga meskipun sudah menilai seobjektif mungkin, namun subjektivitas tidak dapat dihilangkan. "Saya dapat memaklumi itu, tetapi semoga tidak lebih kental nuansa politis dibanding pertimbangan kualitasnya," ujar pria berkacamata ini.
DPR memang membebaskan para incumbent untuk tidak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, perlakuan ini berbeda dengan diterapkan kepada Amin Sunaryadi saat mengikuti seleksi pimpinan KPK, namun Lukman menolak jika DPR disebut telah menerapkan standar ganda. "Hal tersebut dilakukan untuk menjaga hubungan antar lembaga negara, ini bukan previllage, DPR posisinya sejajar dengan MK," kata Lukman.
Ia mengatakan, bila calon lain harus menerangkan visi misi serta apa yang akan dilakukannya ketika terpilih menjadi hakim konstitusi, maka incumbent hanya perlu memaparkan kesediannya menjabat lima tahun kedepan sebagai hakim konstitusi. Fraksi PPP sendiri, kata dia, akan menyeleksi incumbent berdasarkan integritas, kapabilitas serta indenpendesinya selama ini. "Kemudian setiap fraksi akan dimintai pendapat," ujar Lukman.
Lukman mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan tidak relevan lagi untuk seseorang yang telah menjadi hakim. Apalagi, lanjut dia, dikhawatirkan pada tahap seleksi tersebut ada anggota DPR yang mempertanyakan mengenai putusan. "Padahal putusan adalah mahkota hakim," ujar Lukman.[]Grathia Pitaloka
Sumber: HU Jurnal Nasional, Rabu (5/3/2008)