Mantan Bupati Garut periode 2004-2009 Agus Supriadi mengajukan uji materiil terhadap aturan peninjauan kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang perdana perkara Nomor 43/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (5/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon merasa berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 154 ayat (10) UU Pemilu yang dinilai melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 154 ayat (10) menyatakan, “Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali”.
Krido Sasmita selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa Pemohon merupakan mantan terpidana dan berdasarkan Surat Keterangan Pengadilan Negeri Garut Kelas I B Nomor: W.11.U.8/1573/727/HL.04.04/VIIII/2017 tanggal 16 Agustus 2017. Pemohon pun telah mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Garut Tahun 2018. Akan tetapi, kenyataannya Pemohon tidak dimasukkan sebagai pasangan calon karena Pemohon tidak dapat mengajukan peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada. “Pasal 154 ayat (10) UU a quo tidak memungkinkan bagi Pemohon untuk melakukan upaya hukum berupa peninjauan kembali setelah diajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” ujar Krido di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Dalam permohonannya, Pemohon juga mendalilkan KPU Kabupaten Garut beralasan Pemohon belum menyerahkan surat keterangan telah selesai menjalani Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas Bersyarat dari Balai Pemasyarakatan Kelas II Garut. Hingga akhirnya, menurut KPU Kabupaten Garut, dinyatakan tidak pernah ada penyerahan surat keterangan dimaksud dan hal tersebut dituangkan melalui Berita Acara Hasil Penelitian Perbaikan Persyaratan Administrasi Dokumen Persyaratan Pencalonan dan Persyaratan Calon Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Garut Tahun 2018, Model BA.HP PERBAIKAN-KWK tertanggal 11 Februari 2018.
Kemudian dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada beserta turunannya bertentangan dengan UUD 1945.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, panel hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Arief Hidayat memberikan saran perbaikan. Para hakim konstitusi menitikberatkan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Menurut Maria, Pemohon belum menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan kedudukan hukum yang dialami karena Pemohon terlalu banyak menjelaskan kasus konkret dalam putusannya.
“Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum? Pemohon terlalu banyak menjelaskan kasus konkret sehingga hilang kedudukan hukumnya. Pemohon dalam permohonan menuliskan sebagai bakal calon pasangan, namun lainnya, Pemohon menulis sebagai Pemohon I. Ini menunjukkan Pemohon meng-copy (permohonan terkait) kasus konkret,” jelasnya.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menegaskan, persoalan PK yang dimohonkan Pemohon terkait gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam PTUN, lanjutnya, keadilan bersifat formil yang berarti berlaku untuk saat itu saja. Oleh karena itu, PK dalam PTUN hanya dapat dilakukan sekali. Arief melanjutkan hal tersebut berbeda dengan PK dalam kasus pidana yang bersifat keadilan substantif, maka sebagaimana putusan MK, PK dapat dilakukan berkali. “Jika Pemohon punya alasan yang tepat terhadap hal itu, silakan diuraikan dalam permohonannya,” tandas Arief. (Lulu Anjarsari)