Kuasa hukum Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), Muhammad Jamsari menyampaikan sejumlah perbaikan pada sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (4/6). Perbaikan permohonan Perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 tersebut, di antaranya terkait pasal yang diujikan dan kerugian yang dialami.
Jamsari mengungkapkan Pemohon mengganti pasal yang diujikan semula Pasal 138 ayat (3) menjadi Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sedangkan dalam petitum, Pemohon meminta agar Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘memuat sepeda motor berfungsi sebagai kendaraan bermotor perorangan dan kendaraan bermotor umum atau setidak-tidaknya diputuskan dengan putusan konstitusional bersyarat’.
“Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetap konstitusional dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘memuat sepeda motor sebagai kendaraan bermotor perseorangan dan kendaraan bermotor umum’,” tandas Jamsari.
Sebelumnya, para Pemohon yang tergabung dalam Tim Pembela Rakyat Pengguna Transportasi Online atau Komite Aksi Transportasi Online (KATO) menguji Pasal 138 Ayat (3) UU LLAJ yang berbunyi, “Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.”
KATO mewakili 50 Pemohon yang datang dari berbagai latar belakang profesi, yaitu pengemudi ojek online, pengurus organisasi serikat pekerja/serikat buruh, karyawan swasta, wiraswasta, wartawan, pelajar/mahasiswa, dan pengguna jasa ojek berbasis aplikasi online (ojek online).
Dalam permohonannya, Pemohon mengungkapkan bahwa keberadaan ojek online merupakan sebuah fakta yang aktual. Pemohon memaparkan keunggulan ojek online yang tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi juga layanan berbelanja serta layanan pemesanan makanan. Pemohon menilai bahwa saat ini, pasal a quo tidak mengakomodasi jaminan konstitusional para Pemohon, baik sebagai pengguna maupun pengendara ojek online tersebut. Sebaliknya, pasal a quo dinilai Pemohon berpotensi memicu reaksi penolakan terhadap keberadaan ojek online. (Nano Tresna Arfana/LA)