Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan materi tentang harmonisasi antara agama dengan negara ketika menjadi narasumber dalam Halaqah Konstitusi yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Masjid Salman ITB, Bandung.
Dalam kesempatan tersebut, Wahiduddin menjelaskan bahwa ada tiga pendapat besar terkait Islam dan ketatanegaraan. Salah satunya mengungkapkan bahwa Islam adalah ruh dari sebuah negara. Kemudian, ada pula anggapan bahwa Islam merupakan bentuk negara yang perlu dikaji baik ruh maupun sistem kenegaraannya.
“Ada pula yang menyebut negara dan agama harus dipisah, seperti di Turki. Turki menyatakan diri sebagai negara sekuler, namun dalam perjalanannya, agama masih mencari bentuknya,” ujarnya di hadapan jama’ah Masjid Salman ITB.
Wahiduddin kemudian membandingkan dengan Indonesia. Ketika memproklamasikan kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 yang menyebut, “Atas berkat rahmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala”, maka secara sadar, bangsa Indonesia telah memahami bahwa kemerdekaan yang diperoleh adalah karunia Allah Subhanallahu wa Ta’ala. “Kemudian, apabila kita lihat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, juga terlihat hal serupa,” jelasnya.
Selanjutnya, Wahiduddin menyampaikan mengenai batas wilayah yang merupakan ciri khas penting dalam syarat berdirinya suatu negara. Kriteria ini, lanjutnya, merupakan sebuah tanda bahwa suatu entitas berdaulat di atas tanah tersebut. Hal tersebut juga menandai akhir dari masa-masa kolonialisme atau penjajahan sebuah bangsa atas bangsa lain. Ironisnya, lanjutnya, penjajahan belum usai.
“Saat ini, masih ada bangsa yang berada penjajahan, seperti penjajahan Israel terhadap Palestina. Oleh karena itu, tepat bagi Pemerintah Indonesia untuk selalu mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Bagi Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, ‘kemerdekaan adalah hak segala bangsa’. Karena itu, segala bentuk penjajahan haruslah dihapuskan,” tandas Wahiduddin. (Lulu Anjarsari)