Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang diajukan oleh Etty Afiyati Hentihu dan empat Pemohon lainnya selaku para pengemudi taksi online atau “taksi aplikasi berbasis teknologi” akhirnya ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (31/5) siang.
Para Pemohon berprofesi sebagai pengemudi taksi online mempersoalkan Pasal 151 huruf a UU LLAJ menyatakan bahwa salah satu angkutan umum tidak dalam trayek yang legal adalah taksi. Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan ketentuan a quo belum mengakomodasi taksi online sebagai salah satu penyedia jasa angkutan. Hal ini dinilai merugikan para Pemohon karena dengan tidak dicantumkannya taksi online dalam ketentuan a quo.
Terhadap Perkara Nomor 97/PUU-XV/2017 tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa apabila “taksi aplikasi berbasis teknologi” dijadikan sebagian dari norma Pasal 151 huruf a UU LLAJ, maka akan menjadi jenis angkutan tersendiri. Seandainya menjadi jenis tersendiri, bagaimana membedakan antara taksi dengan “taksi aplikasi berbasis teknologi”. Terdapat banyak persamaan antara keduanya. Jika demikian, “taksi aplikasi berbasis teknologi” dapat saja digolongkan menjadi bagian dari taksi.
“Dengan terpenuhinya kriteria jenis angkutan orang yang telah diatur dalam Pasal 151 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, maka akan terjadi kekaburan konsep mengenai angkutan orang sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” ungkap Wakil Ketua MK Aswanto saat membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, lebih jauh istilah “aplikasi berbasis teknologi” bukanlah sesuatu yang menunjukkan pada penentuan jenis angkutan, melainkan bagaimana cara pengguna jasa angkutan memperoleh atau memesan layanan jasa angkutan. Cara bagaimana pelanggan memperoleh jasa angkutan tentu tidak dapat dijadikan alasan untuk menentukan bahwa “taksi aplikasi berbasis teknologi” merupakan jenis tersendiri dari salah satu jenis angkutan orang.
Mahkamah berpendapat, realitas hari ini menunjukkan angkutan orang dengan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a UU LLAJ juga telah menggunakan aplikasi berbasis teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya “taksi aplikasi berbasis teknologi” bukanlah jenis yang terpisah dari jenis angkutan yang telah diatur. Aplikasi berbasis teknologi hanyalah sebuah metode pemesanan layanan angkutan semata.
Berdasarkan uraian argumentasi di atas, menurut Mahkamah, keberadaan Pasal 151 huruf a UU LLAJ yang memang belum atau tidak memuat norma tentang “taksi aplikasi berbasis teknologi” sebagaimana dikehendaki para Pemohon, tidak serta-merta pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Sebab ketika suatu norma tidak atau belum mengakomodir aspirasi atau perkembangan masyarakat yang begitu dinamis, maka norma dimaksud tetap tidak dapat dengan sendirinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945,” tegas Aswanto.
Terkait dengan pandangan tersebut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIV/2016 bertanggal 6 Desember 2017, Mahkamah menegaskan bahwa “Lagipula, hanya karena materi muatan suatu norma undang-undang tidak lengkap atau tidak sepenuhnya mampu mengakomodasikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat tidaklah dengan sendirinya berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945”. “Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Aswanto. (Nano Tresna Arfana/LA)