Aturan mengenai perjanjian kerja sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sesuai dengan UUD 1945. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6/PUU-XVI/2018 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada pada Kamis (31/5) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar membacakan permohonan yang diajukan oleh Abdul Hakim, Romi Andriyan Hutagaol, Budi Oktariyan, Mardani, Tarsan, dan Supriyanto.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 beserta penjelasannya, yang hanya menjelaskan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja), belum memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi Pemohon. Sebab, sejak Pemohon melamar pekerjaan dan akhirnya diterima bekerja, Pemohon langsung disodorkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu oleh pengusaha. Padahal jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dipersyaratkan untuk menerapkan perjanjian kerja waktu tertentu haruslah pekerjaan yang sekali selesai dalam waktu tertentu dan hanya boleh diperpanjang dan/atau diperbarui satu kali. Faktanya, para Pemohon bukan saja tidak diberikan salinan perjanjian kerja, tetapi juga perjanjian kerja dilakukan perpanjangan berkali-kali, tidak adanya jaminan diberikan upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, serta tidak dijadikan sebagai peserta jaminan sosial yang bersifat wajib yaitu jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams yang membacakan pertimbangan hukum menyebut dengan adanya Pasal 59 ayat (7) dan ayat (8) UU Ketenagakerjaan, menurut Mahkamah telah jelas mengenai kewajiban pencatatan PKWT dan akibat hukum dari tidak tercatatnya PKWT tersebut. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan termasuk Penjelasannya, telah menjadi dasar yang cukup bahwa PKWT wajib dicatatkan dan tidak dicatatkannya PKWT sampai dengan batas waktu yang ditentukan demi hukum berubah menjadi PKWTT.
Terkait kewajiban pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, MK pun pernah memutus terkait hal tersebut sebagaimana tertuang pada Putusan MK Nomor 7/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut, MK mewajibkan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan guna meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan.
“Oleh karena itu, esensi kekhawatiran para Pemohon bahwa dengan tidak dinilainya substansi PKWT oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan serta tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha terhadap Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 tersebut sesungguhnya telah terjawab oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014. Jadi, Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 tidak menimbulkan adanya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon sehingga norma Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Wahiddudin. (Lulu Anjarsari)