Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pada Senin (28/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 37/PUU-XVI/2018 dan 39/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) serta sejumlah perseorangan warga negara.
Dalam sidang perbaikan permohonan, Veri Junaidi selaku kuasa hukum para Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVI/2018 menyampaikan pihaknya melengkapi dan memperkuat kedudukan hukum Pemohon III – XXX dengan menambahkan norma pengujian berupa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang terkait dengan kedaulatan rakyat. Menurutnya, dengan hadirnya UU a quo potensial mengurangi atau bahkan pihaknya tidak lagi dapat berpartisipasi secara bebas dan leluasa dalam partisipasi mengawal pengambilan kebijakan yang dilakukan DPR, sebagaimana dalam Pasal 28E ayat (3) yang terkait dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
Cacat Formil
Terkait dengan pengujian formil, Veri menjabarkan pihaknya memperkuat satu sub-argumentasi mengenai adanya cacat formil terhadap pelaksanaan mandat presiden oleh Menteri Hukum dan HAM dalam pelaksanaan pembahasan UU a quo. Dalam proses pembahasan, tambah Veri, ada hal-hal yang dilampaui oleh Menteri Hukum dan HAM. Untuk itu, para Pemohon melakukan perbaikan Petitum utamanya terkait dengan pemilahan antara Petitum untuk pengujian formil dan materiil.
“Jadi, yang diminta dibatalkan adalah undang-undang revisinya yakni UU Nomor 2 Tahun 2018. Sehingga, kalau proses revisi dianggap batal dalam pembahasan, maka dengan sendirinya kembali pada undang-undang yang lama,” jelas Veri di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra yang didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Pada sidang yang sama, Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018 melalui Sabelo Gayo selaku kuasa hukum menyampaikan meskipun Pemohon bukan anggota MPR, DPR, DPD, atau DPRD, namun sebagai perseorangan warga negara tetap memiliki hak konstitusional berupa hak pilih dalam pemilu legislatif. Sebab, sistem legislatif yang dianut di Indonesia berupa sistem perwakilan. “Jadi, baik secara langsung ataupun tidak langsung Pemohon perseorangan WNI memiliki legal standing,” terang Sabela.
Dibatalkan
Selanjutnya, terkait dengan Pasal 427A huruf a UU a quo, menurut Sabelo, apabila pimpinan atau anggota dewan tersebut dalam proses kepemimpinannya melakukan perbuatan pidana atau perbuatan asusila, tidak dapat diganti karena adanya aturan pada UU a quo. “Jadi, Pasal 427A huruf a harus dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” terang Sabelo.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor 37/PUU-XVI/2018 menyampaikan kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 73 ayat (3), Pasal 245, dan Pasal 122 huruf l UU MD3. Sebagai pihak yang memosisikan diri sebagai rekan kritis DPR RI dalam setiap pengambilan kebijakan, merasa dirugikan dengan ketiga pasal tersebut. Khususnya apalagi Pemohon memberikan kritik yang sangat keras dan tajam terhadap kelembagaan DPR sebagai representasi rakyat.
Adapun Pemohon Perkara Nomor 39/PUU-XVI/2018 mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 180A dan Pasal 427A huruf a UU MD3 bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (3), dan Pasal 23 UUD 1945. Menurut Pemohon, pihaknya memiliki hak konstitusional untuk memilih anggota DPR, DPD, maupun DPRD. Sehingga, pasal a quo bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum, dan persamaan di mata hukum. (Sri Pujianti/LA)