Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/5). Sidang kedua Perkara Nomor 38, 36 dan 40/PUU-XVI/2018 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Kuasa hukum Pemohon Perkara 38/PUU-XVI/2018, Anthoni Hatane menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan seperti perbaikan kedudukan hukum. “Seperti pada sidang yang lalu, kami dinasihati Yang Mulia dan diberikan masukan yaitu yang paling penting menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Selanjutnya, seperti Yang Mulia sarankan kepada kami bahwa lebih difokuskan kepada daerah kepulauan dan ini kami sudah uraikan dalam permohonan kami,” jelas Anthoni.
Anthoni menyatakan telah menghilangkan sejumlah pasal yang diuji sesuai saran Majelis Hakim. Tak hanya itu, Pemohon juga menambahkan bukti berupa peta wilayah kabupaten/kota di Maluku. “Kami menambahkan bukti berupa peta wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku, yang mana itu terdiri dari di bukti P-7 sampai dengan P-18. Hampir sebagian besar adalah daerah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil dan pulau-pulau yang memang besar yang memang harus dijangkau, yang tadi saya sebutkan, Yang Mulia,” urai Anthoni.
Sementara itu kuasa hukum Pemohon Perkara 36/PUU-XVI/2018, Dorel Almir juga melakukan perbaikan kedudukan hukum Pemohon. “Kami telah melakukan perbaikan pada kedudukan hukum sesuai saran Yang Mulia dalam halaman 4, 5, dan 6. Para Pemohon juga menambahkan argumentasi, “Sepanjang kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif penafsir konstitusi” pada halaman 7 butir 3,” ucap Dorel.
Di samping itu, Pemohon menambahkan bahwa pemilihan umum bukan hanya dimaknai pada saat pencoblosan. Tetapi juga adanya kehendak rakyat serta paket pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menempatkan wapres bukan hanya sebagai pelengkap, tapi pasangan yang memiliki legitimasi yang sama dengan peran yang seimbang.
Sedangkan kuasa hukum Pemohon Perkara 40/PUU-XVI/2018, Heriyanto Citra Buana menerangkan Pemohon melakukan perbaikan kerugian konstitusional yang konkret yang dirasa oleh Pemohon dalam kaitan dengan pasal-pasal yang diuji, terkait dengan pembatasan periodisasi jabatan presiden dan wakil presiden.
“Kami menekankan tentang kerugian konkret yang kami rasakan sebagai Pemohon. Berangkat dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang Kedaulatan Rakyat Ada Di Tangan Rakyat dan Dilaksanakan Menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan berikut dengan rumusannya Pasal 6A ayat (1) tentang Bentuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,” ungkap Heriyanto.
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara 38/PUU-XVI/2018 adalah Victor F. Sjair, anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2014-2019 merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c, ayat (2) dan ayat (3) serta Lampiran I UU 7/2017 yang membatasi hak konstitusional Pemohon untuk menjadi anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2019-2024.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon. Sebab meski Pemohon tetap mencalonkan diri sebagai anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2019-2024, namun tidak menjamin Pemohon dapat terpilih kembali sebagai Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru karena anggota KPUKabupaten Kepulauan Aru yang dipilih hanya berjumlah 3 (tiga) orang, bukan 5 (lima) orang seperti daerah lain di Indonesia sesuai Lampiran No. I Pemilu.
Pemohon mendalilkan, berlakunya Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang dalam pertimbangannya dijelaskan untuk menentukan jumlah KPU itu dilihat dari luas wilayah dan jumlah wilayah administrasi pemerintahan, tanpa mempertimbangkan sama sekali daerah-daerah kepulauan seperti di Maluku secara umum dan di Kepulauan Aru secara khusus.
Sedangkan Pemohon Perkara 36/PUU-XVI/2018 adalah Muhammad Hafidz, dkk., yang menguji Pasal 169 huruf n UU a quo mengenai syarat masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 2 (dua) kali berturut-turut. Menurut Pemohon, pembatasan masa jabatan calon Presiden dan Wakil Presiden, di antaranya karena dilatarbelakangi praktik ketatanegaraan di Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun tidak mengalami pergantian Presiden, sehingga menciptakan pemerintahan suasana otoriter dan kesewenang-wenangan.
Lain lagi, dengan Pemohon Perkara 40/PUU-XVI/2018 yang menyatakan Penjelasan Pasal 169 UU Pemilu tersebut pada frasa maupun tidak berturut-turut mengandung tafsir yang tidak sejalan dan tidak senafas, serta bertentangan sama sekali dengan dasar filosofis serta yuridis terhadap Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 6A Ayat (1) dan Pasal 7 UUD 1945. Pemohon beranggapan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung terpasung oleh penjelasan pasal yang memberi batas periodesasi atau masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dibatasi untuk masa jabatan. Untuk itu, Pemohon meminta pembatalan keberlakuan pasal-pasal tersebut. (Nano Tresna Arfana/LA)