Pembatasan dan larangan bagi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU kabupaten/kota yang terpilih untuk mengundurkan diri dari kepengurusan ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf k UU Pemilu tidak mereduksi hak dasar warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri RI Suhajar Diantoro dalam keterangan Pemerintah pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (28/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Suhajar menyebut pengaturan dalam pasal a quo diperlukan justru dalam rangka melaksanakan amanah Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merujuk pada keadilan bagi warga negara dalam proses berbangsa dan bernegara dalam mengemukakan pendapatnya. “Sehingga muncul keseimbangan antara pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul dengan kewajiban untuk melindungi dan menghormati ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 28J,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Terkait anggapan Pemohon yang menyatakan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota yang hanya tiga orang yang dapat mengganggu pelaksanaan pemilu, Pemerintah berpendapat Pemohon untuk lebih dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma dan tataran implikasi norma. “Dengan demikian, mengingat dalil yang dimohonkan Pemohon menyangkut implementasi norma, sudah sepatutnya permohonan pegujian norma a quo dinyatakan tidak dapat diterima,” terang Suhajar menanggapi Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018.
Keistimewaan Aceh
Sedangkan terkait adanya diferensiasi kedudukan antara pengawas pemilu di Aceh dengan pengawas pemilu di daerah lain, Suhajar menjabarkan bahwa Aceh merupakan suatu pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan diberikan kewenangan khusus mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945.
“Dengan demikian, pengaturan mengenai kedudukan pengawasan pemilu di Aceh dapat saja memiliki perbedaan dengan daerah lain di Indonesia dengan memperhatikan dan mempertimbnagkan keistimewaan tersebut,” terang Suhajar.
Pada persidangan sebelumnya, Pemohon mempersoalkan sebanyak sebelas pasal yang tercantum dalam UU Pemilu. Salah satu di antaranya Pemohon mendalilkan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang menetapkan jumlah 3 (tiga) atau 5 (lima) orang anggota KPU Kabupaten/kota serta jumlah 3 (tiga) orang anggota PPK tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut karena aturan tersebut tidak mempertimbangkan faktor perbedaan dan keragaman alam geografis Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur, yang terdiri dari ribuan pulau dan pegunungan dengan tingkat kesulitan daya jangkau yang beragam, ada daerah pemilihan yang bergantung pada cuaca, ada yang tidak dapat ditempuh melalui jalan darat, serta masih ada pula daerah pemilihan yang hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki.
Pada akhir persidangan, Anwar menyampaikan sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 2 Juli 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli dari Pemohon. (Sri Pujianti/LA)