Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP). Sidang pengucapan putusan perkara yang teregistrasi Nomor 4/PUU-XVI/2018 ini dibacakan Ketua MK Anwar Usman pada Rabu (23/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar dalam sidang pengucapan putusan terhadap perkara yang dimohonkan Sutarjo yang berprofesi sebagai pengacara.
Pemohon mendalilkan bentuk perlindungan terhadap martabat seseorang salah satunya diwujudkan dengan adanya jaminan hak seseorang tidak boleh ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948. Menurut Pemohon, penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Apabila seorang tersangka kooperatif, tidak mempersulit penyidikan, tidak melarikan diri dalam penyidikan, penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap saja bisa melakukan penahanan. Faktanya, seringkali kewenangan penahanan menjadi sarana transaksional, tergantung dari penyidik maupun JPU. Namun demikian, dalam hal ini, tersangka tidak diberikan hak untuk membela diri agar tidak dilakukan penahanan.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Suhartoyo menjabarkan bahwa dalam perspektif hak asasi manusia sebagai hak yang diakui secara universal. Pada hakikatnya, adanya pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Lebih lanjut, jelas Suhartoyo, meskipun penahanan pada hakikatnya adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat secara tidak langsung, namun terhadap pejabat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan juga dipersyaratkan untuk bertindak secara sangat hati-hati. “Oleh sebab itu, sebenarnya kata kunci tindakan penahanan dalam sistem peradilan termasuk di Indonesia adalah suatu tindakan yang baru dapat dinyatakan sah apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu,” urai Suhartoyo.
Suhartoyo melanjutkan, meskipun dalil Pemohon hanya terbatas pada permasalahan tindakan penahanan yang dilakukan oleh peyidik pembantu atau penyidik dan penuntut umum, namun Mahkamah berpendapat hal tersebut tetap mempersoalkan hakikat tindakan penahanan itu sendiri. Terhadap hal tersebut, Mahkamah telah mempertimbangkan dengan adanya syarat yang sangat ketat dan sikap hati-hati yang dilakukan pejabat berwenang untuk melakukan penahanan pada masing-masing tingkatan hanyalah kekhawatiran yang berlebihan. Kalaupun ada praktik-praktik transaksional seperti yang didalilkan Pemohon, lanjut Suhartoyo, hal itu adalah persoalan implementasi yang masing-masing bergantung pada integritas pejabatnya yang tidak relevan apabila Pemohon mengaitkan dengan inkonstitusionalnya norma dari pasal-pasal tersebut. “Sebenarnya, mekanisme kontrol yang dikhawatirkan Pemohon bukanlah tidak ada, sebab secara yuridis undang-undang telah menyediakan sarana untuk itu,” ujar Suhartoyo.
Esensi Penahanan
Lebih lanjut, Mahkamah menegaskan meskipun permohonan hanya berkaitan dengan sebagian dari norma Pasal 7 ayat (1) huruf d sepanjang kata “penahanan”, Pasal 11 sepanjang kalimat “kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”, dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, namun hakikat yang dipermasalahkan Pemohon adalah esensi penahanan.
Berkenaan dengan pendapat lain Pemohon yang berpendapat untuk tindakan penyitaan saja ada fungsi kontrol, sementara tindakan penahanan yang kandungnya adalah berupa pembatasan kemerdekaan orang dan sangat sensitif dengan HAM justru tidak ada mekanisme kontrol, Mahkamah berpendapat tindakan penyitaan terhadap benda tidak bergerak wajib didahului dengan persetujuan oleh Ketua Pengadilan Negeri karena terhadap benda tersebut belum tentu hak tersebut membuktikan kepemilikan seseorang dari tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana. Adapun penyitaan terhadap benda bergerak dapat dilakukan tanpa persetujuan Ketua Pengadilan Negeri karena benda bergerak berlaku prinsip Pasal 1977 KUH Perdata.
“Dengan demikian, argumentasi Pemohon yang memperbandingkan tindakan penahanan dan penyitaan adalah tidak relevan. Sebab, adanya tindakan penahanan bukan tidak ada mekanisme kontrolnya, tetapi jelas ada, yaitu lembaga praperadilan yang di dalamnya termasuk menguji keabsahan penyitaan,” tandas Suhartoyo. (Sri Pujianti/LA)