Pemekaran wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan yang dianggap Pemohon menimbulkan masalah mejalani sidang keduanya hari ini, Senin (3/3) di ruang sidang Panel gedung Mahkamah Konstitusi (MK) lantai 4 dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan. Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 4/PUU-VI/2008 ini diajukan oleh seorang Ketua Masyarakat Adat Banggai dan beberapa Pemohon perseorangan.
Dalam perbaikan permohonannya, melalui kuasa hukumnya Arifin Musa, S.H., para Pemohon menganggap Pasal 11 Undang-Undang Nomor 51 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Morowali, Kabupaten Buol dan Kabupaten Banggai Kepulauan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga, Pasal ini dianggap para Pemohon telah menimbulkan banyak kerugian bagi para mereka. Keberadaan Pasal 11 UU a quo yang menyatakan bahwa Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Kota Banggai dianggap bertentangan dengan Pasal 10 yang menyatakan bahwa Ibukota Banggai Kepulauan adalah Kota Salakan sehingga menimbulkan tafsir ganda dan ketidakpastian hukum atas kedudukan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan yang membingungkan masyarakat.
Selain itu, menurut para Pemohon, perpindahan Ibukota tersebut juga dianggap telah merugikan masyarakat dari segi adat karena menurut sejarahnya, pusat adat Banggai terletak di Kota Banggai yang merupakan Ibukota Kabupaten Banggai sebelum adanya UU No. 51 Tahun 1999 ini. Para Pemohon menganggap ketentuan yang memindahkan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan ke Salakan selain sangat merugikan, juga berarti bahwa Pemerintah tidak menghormati keputusan masyarakat adat Banggai dan oleh karenanya bertentangan dengan aspirasi masyarakat adat Banggai Kepulauan.
Sehubungan dengan hal tersebut, para Pemohon memohon Majelis Panel Hakim Konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 11 UU No. 51 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang merasa Pemohon belum menggambarkan secara jelas masalah inkonstitusionalitas antara penunjukan ibukota dengan hak konstitusional masyarakat dalam Permohonannya, mempertanyakan alasan para Pemohon. âBoleh saja Anda mengatakan bertentangan dengan pasal ini atau itu, tetapi yang terpenting adalah argumentasinya, pembuktiannya,â tegas Palguna.
Menurut Palguna, para Pemohon perlu membedakan antara pertentangan undang-undang dengan UUD 1945 dan undang-undang yang bertentangan dengan kehendak masyarakat. âApakah ini persoalan perundang-undangan ataukah masalah legislative review?â tanya Palguna.
Senada dengan hal tersebut, Hakim Konstitusi Harjono merasa Pemohon harus mempertimbangkan permohonannya. âJika bicara undang-undang bertentangan dengan undang-undang, bukan masalah konstitusionalitas, bukan diajukan ke Mahkamah Konstitusi,â tambahnya.
Hakim Konstitusi H. Harjono yang memimpin Panel Hakim Konstitusi, juga mempertanyakan hubungan antara perpindahan letak Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dengan keberadaan adat Banggai. âApakah karena ibukota Banggai tidak di Banggai, saudara menyatakan hal tersebut tidak menghormati adat?â tanya Harjono.
Sementara Hakim Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar saat menyampaikan nasihat kepada para Pemohon, memberikan solusi yang dapat dilakukan Pemohon untuk menyelesaikan persoalan perpindahan ibukota kabupaten ini. âPemindahan ibukota merupakan hal yang biasa. Ada prosedur hukum yang dapat ditempuh. (Perpindahan tersebut-red) bisa diusulkan kembali, jika DPRD dan Pemerintah sepakat untuk memindahkan ibukota ke suatu tempat.â Jelasnya.
Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar juga meragukan pendapat pemohon yang menganggap jika perpindahan letak ibukota akan merugikan adat yang berlaku. Menurut Mukthie, orang Jawa yang berada di Jakarta tetap dapat menjalankan adat tanpa terganggu. Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar juga juga mengingatkan bahwa dalam kerangka kenegaraan, tidak semua keinginan harus dituruti demi kepentingan yang lebih besar.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Harjono mengatakan bahwa Majelis Panel Hakim Konstitusi akan membawa permohonan para Pemohon ke rapat pleno Permusyawaratan Hakim Konstitusi karena Panel Hakim Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. [Yogi Djatnika]