Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan terkait uji materiil aturan pemuatan putusan MK dalam berita negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Putusan Nomor 57/PUU-XV/2017 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Rabu (22/5) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusan tersebut, Mahkamah juga menyatakan tidak dapat menerima uji materiil terkait tindak lanjut putusan MK.
“Menyatakan pokok permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Anwar membacakan permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hafidz tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 57 ayat (3) UU MK berpotensi merugikan hak konstitusionalnya karena terdapat potensi ketidaksegeraan para pihak terkait dalam menindaklanjuti setiap putusan MK dalam suatu perkara sehingga berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan Pasal 59 ayat (2) sepanjang frasa “jika diperlukan” juga terkandung makna bahwa putusan MK dapat saja dianggap tidak perlu untuk segera ditindaklanjuti, yang pada akhirnya berakibat pada banyaknya putusan non-executable (tidak dapat dilaksanakan). Oleh karena itu, guna menghindari terjadinya kesewenangan atas tindak lanjut putusan MK, terlebih adanya penafsiran kembali, maka untuk mengimplementasikan putusan MK serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum, Pemerintah dapat menerbitkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sesuai dengan tata urutan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan untuk menindaklanjuti putusan MK yang muatan materinya mempunyai kesamaan dengan putusan MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah menilai pemuatan putusan MK dalam Berita Negara telah cukup diketahui secara umum agar seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang telah dinyatakan inkostitusional. “Karena berdasarkan Pasal 47 UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum,” jelas Wahiduddin.
Adapun terkait perkara yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi putusan MK, lanjut Wahiduddin,karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan tersebut. Namun demikian, norma UU adalah satu kesatuan sistem dan pelaksanaan putusan harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan.
Sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan semua putusan MK harus ditindaklanjuti dengan pembentukan atau perubahan UU atau peraturan perundang-undanganlainnya sesuai hierarki, Wahiduddin mennyampaikan bahwa Mahkamah berpendapat dalil ini tidak tepat. Sebab, sifat final putusan MK di dalamnya memiliki makna putusan tersebut mengikat dan semua pihak terikat untuk melaksanakannya tanpa harus menunggu tindak lanjut dengan pembentukan atau perubahan UU lainnya. Jika pun diperlukan, hal demikian akan dinyatakan secara tegas dalam putusan MK yang bersangkutan.
Sedangkan terhadap dalil Pemohon lainnya seperti yang tercantum dalam Pasal 59 ayat (2) UU MK frasa “jika diperlukan”, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dalam Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011 dengan amar putusan menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon dalam perkara dimaksud dengan menyatakan inkonstitusional, maka permohonan Pemohon terhadap pasal a quo telah kehilangan objek. (Sri Pujianti/LA)