Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Putusan Nomor 19/PUU-XVI/2018 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Rabu (22/5). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar membacakan permohonan yang diajukan purnawirawan TNI Angkatan Udara, Sukardja, beserta Pemohon lainnya.
Pemohon mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) UU PBB mengenai dasar pengenaan pajak adalah nilai jual objek pajak dan Pasal 6 ayat (2) UU a quo mengenai besarnya nilai jual objek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap 3 tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. Pemohon mendalilkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 yang bervariasi dari 57,7% sampai 350% telah mengganggu kehidupan lahir batin Pemohon karena merasa berat untuk membayar tagihan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014. Oleh karena itu, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2014 tersebut bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyampaikan bahwa filosofi pengenaan pajak terhadap bumi dan bangunan karena adanya manfaat yang dinikmati oleh mereka yang menguasai bumi dan/atau bangunan. Sementara, menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Dengan demikian, mereka yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang berada di bawah penguasaan negara adalah wajar jika menyerahkan sebagian dari manfaat itu kepada negara, yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada rakyat melalui pelaksanaan pembangunan,” jelas Hakim I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah.
Namun demikian, lanjut Palguna, Mahkamah menilai harus ditentukan atau dihitung pengenaan pajak terhadap bumi dan bangunan secara objektif dan proporsional. Dalam konteks demikian, argumentasi paling rasional sebagai dasar penghitungan adalah menghitung secara kuantitatif nilai manfaat, yaitu dengan mempertimbangkan nilai jual dari objek yang memberi manfaat kepada pihak yang menikmati.
Oleh sebab itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan penghitungan pengenaan PBB yang didasarkan pada nilai jual objek pajak sebagai khayalan adalah tidak benar. Karena nilai jual objek pajak itu tetap ada setiap waktu di daerah yang bersangkutan. Adapun hal-hal teknis yang terkait dengan cara penghitungan, tidak mungkin dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah.
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas penggunaan nilai jual objek pajak sebagai dasar penghitungan pengenaan PBB adalah tidak beralasan menurut hukum.
Mahkamah berpendapat, apabila terhadap pengenaan PBB tersebut Pemohon keberatan, hal itu telah disediakan mekanismenya melalui Pasal 107 ayat (2) UU Pajak dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Namun dimungkinkannya diajukan keberatan demikian, bukan berarti norma dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD 1945. Melainkan semata-mata sebagai jalan hukum yang diberikan oleh undang-undang, in casu UU PDRD. “Apabila Pemohon sebagaimana dijelaskan dalam permohonannya ternyata tidak mendapat tanggapan Pemerintah, maka Mahkamah tidak berwenang untuk menilai demikian. Sebab sudah berada di wilayah kebijakan Pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan dan kondisi daerah,” tegas Palguna.
Dalam kaitan ini, Mahkamah hanya dapat mendorong agar Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah untuk memperhatikan keberatan Pemohon dalam hubungannya dengan pengenaan PBB, in casu yang tergolong ke dalam PBB-P2. Karena hal itu sepenuhnya bergantung pada kebijakan masing-masing daerah.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)