Sejumlah karyawan PT Manito World mengajukan uji materiil terkait aturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja/buruh yang memiliki sakit berkepanjangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Perkara yang diegistrasi dengan nomor perkara 42/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Banua Sanjaya Hasibuan, Song Young Seok, Pitra Romadoni Nasution, dan Achmad Kurnia selaku karyawan di PT Manito World.
Banua Sanjaya Hasibuan yang mewakili Pemohon menjelaskan berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, karena pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan menerima kompensasi apabila ia mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan tanpa disertai/dibuktikan dengan rekam medis dari kedokteran. Ketiadaan kewajiban melampirkan bukti rekam medis dalam ketentuan tersebut, menurut Pemohon, akan membahayakan Pemohon serta para pengusaha karena akan mengalami kerugian yang cukup besar hingga dapat mengalami kebangkrutan karena harus membayar kewajiban karena pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh tersebut.
“Apabila tidak adanya rekam medis kedokteran, seandainya para karyawan menyatakan sakit, namun tidak ada rekam medis, maka membahayakan pengusaha di wilayah Indonesia,” jelasnya di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang frasa “dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja” tidak dimaknai dengan “dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan sekaligus memberikan bukti rekam medis dari kedokteran”.
Bukan Positive Legislator
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengingatkan bahwa MK bukanlah positive legislator yang dapat mengubah pasal seperti yang dimohonkan Pemohon. “Mahkamah tidak dapat mengubah pasal, tapi bisa dimaknai dari pasal tersebut,” tuturnya.
Selain itu, Maria menambahkan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan justru menguntungkan Pemohon sebagai pekerja. Untuk itu, Pemohon diminta memperbaiki posita. “Kenapa yang memohon Pemohon sebagai pekerja? Sebetulnya yang diuntungkan (adanya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan) adalah buruhnya. Harus dipastikan karyawan ini statusnya apa, buruh atau karyawan biasa? Maka harus dilihat siapa yang dirugikan? Karena kalau legal standing tidak jelas, maka (permohonan) tidak bisa lanjut,” urai Maria.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan agar Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. Ia mempertanyakan terkait Pemohon yang merupakan pekerja, namun mewakili PT Manito World. “Ini yang menguji adalah PT Manito World, maka kedudukan hukumnya sebagai badan usaha dan seharusnya diwakili oleh presiden direktur. Jadi, harus ada surat kuasa hukum meski presiden direkturnya adalah orang asing,” ujarnya.
Arief juga mempertanyakan mengenai akta pendirian PT karena jika hal tersebut tidak diikutsertakan, maka Pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon perseorangan bukan badan hukum. (Lulu Anjarsari)