Aturan terkait syarat masa jabatan presiden dalam Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digugat sejumlah pemohon perseorangan. Muhammad Hafidz, dkk., selaku Pemohon Nomor 36/PUU-XVI/2018 dan Syaiful Bahari, dkk., selaku Pemohon Nomor 40/PUU-XVI/2018 menguji keberlakuan Pasal 169 huruf n UU Pemilu terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Pasal 169 huruf n UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Selain itu, Pemohon menguji Pasal 227 huruf i, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalamPasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut:i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atauWakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Menurut Pemohon, aturan tersebut menimbulkan multitafsir dan atau menghilangkan kesempatan untuk memilih putra/putri terbaik bangsa yang layak untuk maju sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019. Pemohon Nomor 36/PUU-XVI/2018 mendalilkan pembatasan masa jabatan calon Presiden dan Wakil Presiden, di antaranya karena dilatarbelakangi praktek ketatanegaraan di Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun tidak mengalami pergantian Presiden, sehingga menciptakan pemerintahan suasana otoriter dan kesewenang-wenangan.”
Dalam kasus konkret, Pemohon menjabarkan apabila menggunakan rumusan kata “dan” yang bersifat kumulatif (kedua-duanya) dalam frasa “Presiden dan WakilPresiden” pada Pasal 7 UUD 1945, maka Jusuf Kalla yang telah menjabat sebagai Wakil Presiden berpasangan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Periode 2004-2009, dan Periode 2014-2019 berpasangan dengan Presiden Joko Widodo, dapat dipilih kembali karena Jusuf Kalla baru 1 (satu) kali menjabat Wakil Presiden pada masa Presiden Joko Widodo.
Selain itu, Pemohon menilai norma yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, sepanjang frasa “selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” tidak tegas dan justru dapat memberikan keragu-raguan serta mengakibatkan ketidakpastian hukum apabila dipersandingkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa dan sesudahnya dapat dipilih kembali yang bermakna ‘berturut-turut’.
“Maka guna meniadakan keragu-raguan dan untuk memberikan kepastian hukum atas masa jabatan presiden dan wakil presiden, menjadi relevan apabila pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam frasa selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu sepanjang tidak dimaknai ‘tidak berturut-turut’,” ujar Dewi Kemala Mirza Andalusia selaku kuasa hukum Pemohon Nomor 36/PUU-XVI/2018.
Sementara itu, Pemohon Nomor 40/PUU-XVI/2018 menyampaikan, Penjelasan Pasal 169 Undang-Undang RI Nomor 7 tentang Pemilu tersebut pada frasa maupun tidak berturut-turut mengandung tafsir yang tidak sejalan dan tidak senafas, serta bertentangan sama sekali dengan dasar filosofis serta yuridis UUD 1945. “Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung terpasung oleh penjelasan pasal yang memberi batas periodesasi atau masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dibatasi untuk menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut,” ujar Heriyanto Citra Buana.
Menurut Pemohon, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya dibatasi untuk menjabat dalam jabatan yang sama dua kali masa jabatan meskipun tidak berturut-turut adalah tidak relevan. Pembatasan masa jabatan dimaksud tidak sejalan dengan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Padahal, lanjut Heriyanto, instrumen hukum peraturan perundang-undangan tidak boleh membatasi terlebih mengamputasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden meskipun telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dalam dua kali masa jabatan yang sama sepanjang tidak berturut-turut.
Perbaikan Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon Nomor 36/PUU-XVI/2018, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyoroti status Pemohon. Menurutnya, kerugian konstitusional Pemohon belum terlihat dalam uraian permohonan. “Kerugian konstitusional dari Saudara karena apa? Karena Saudara menyebut statusnya sebagai pendukung, ya. Pendukung perorangan ini harus dipertajam betul dalam konteks apa pendukung ini? Saudara sebutkan pendukung dari calon wakil presiden yang mungkin akan maju. Coba nanti diuraikan hal seperti itu,” saran Wahiduddin.
Sedangkan terhadap Perkara 40/PUU-XVI/2018, Wahiduddin mencermati petitum Pemohon. “Terkait petitum, ini pokoknya pembatasan dua kali masa jabatan bilamana jabatan itu dua kali berturut-turut yang dimaksud ya? Membatalkan frasa maupun tidak berturut-turut pada Penjelasan Pasal 169 huruf n itu. Coba nanti dicermati betul redaksional Penjelasan Pasal 169 huruf n karena permintaan Pemohon adalah frasa baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut, ya. Maka bunyi petitum Pemohon adalah menghapus kata baik dan maupun tidak berturut-turut, sehingga yang berlaku kalau dengan rumusan itu hanya frasa secara berturut-turut, ya? Ini coba dikaji kembali dan betul-betul dirumuskan secara baik,” tandas Wahiduddin. (Nano Tresna Arfana/LA)