Larangan penggunaan telepon selama berkendara sebagaimana tercantum dalam Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ bukan ditujukan pada instrumennya, tetapi hilangnya konsentrasi pengendara. Hal ini memicu pelanggaran marka jalan atau menyebabkan kecelakaan. Demikian disampaikan oleh Dian Puji N. Simatupang selaku ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sidang keempat perkara dengan Nomor 23/PUU-XVI/2018 ini digelar pada Rabu (9/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut, Dian menjabarkan rumusan ketentuan pasal a quo menggunakan teori relevansi untuk menentukan dahulu akibat yang terjadi, kemudian ditentukan sebabnya. Hal ini menunjukkan penggunaan telepon dan fiturnya termasuk penggunaan GPS bukan syarat pelanggaran yang dituju dalam UU tersebut, melainkan terganggunya perhatian yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan.
Selanjutnya, Dian menjelaskan bahwa penekanan utama dari norma a quo ada pada frasa ‘akibat gangguan konsentrasi’ sehingga terjadi pelanggaran. Dengan demikian, lanjutnya, norma tersebut mengatur segala kegiatan lain atau keadaan yang menyebabkan gangguan konsentrasi dalam menggunakan kendaraan sehingga terjadi pelanggaran merupakan syarat pelanggaran yang dapat memenuhi unsur pidana. Di sisi lain, jelas Dian, terkait dengan adanya diferensiasi penegak hukum dalam praktik di lapangan, penegak hukum atau pihak yang berwenang dapat menyelidiki gangguan konsentrasi yang terjadi dan bukan pada sebab yang menjadikan gangguan konsentrasi itu terjadi.
“Oleh sebab itu, penggunaan telepon dan fiturnya, misalnya GPS, sepanjang tidak memengaruhi kemampuan dalam mengemudi kendaraan di jalan dan tidak menjadi sebab terjadinya pelanggaran atau kecalakaan, maka tidak dapat dikenakan unsur Pasal 283 UU LLAJ karena tidak memenuhi syarat ‘secara tidak wajar’ dari UU a quo,” jelas Dian yang merupakan pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia.
Menggunakan Telepon Aktif
Pada sidang yang sama, DPR yang diwakili Anggota Komisi III Arteria Dahlan menyampaikan keterangan bahwa yang dimaksud dengan frasa ‘menggunakan telepon’ dalam penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan frasa ‘melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi’ dalam ketentuan Pasal 283 UU LLAJ, adalah ketika pengguna secara aktif menggunakan telepon ketika sedang aktif mengendarai kendaraan. “Karena aktivitas tersebut adalah komunikasi dua arah yang tentunya dapat menyebabkan terganggunya perhatian pengendara bermotor sehingga menjadi tidak konsentrasi,” jelas Arteria.
Namun, lanjut Arteria, apabila pengendara kendaraan bermotor menggunakan telepon hanya untuk mengaktifkan aplikasi GPS dalam memandunya menuju lokasi yang telah ditentukan dan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi dalam berkendara, maka penggunaan telepon diperbolehkan. Karena, lanjutnya, tidak ada interaksi komunikasi dua arah yang dapat mengganggu konsentrasi pengemudi kendaraan.
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan ketika norma a quo dibentuk, belum terpikirkan oleh pembentuk UU bahwa GPS akan terintegrasi dengan telepon pintar seperti saat ini yang didalilkan Pemohon menyebabkan norma a quo inkonstitusional. Terhadap hal tersebut, Arteria berpendapat, Pemohon perlu memahami ketika terjadi kekosongan hukum ketika perkembangan teknologi tersebut belum diatur dalam UU, bukan berarti norma a quo inkonstitusional. “Apabila perkembangan teknologi tersebut dipandang perlu diatur, seharusnya para Pemohon mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang,” jelas Arteria.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon beralasan bahwa frasa “menggunakan telepon“ pada Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ tersebut, sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya.
Sebelum menutup sidang, Anwar mengingatkan persidangan akan dilanjutkan pada Rabu, 6 Juni 2018 pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pihak Terkait. (Sri Pujianti/LA)