Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang diajukan Yahya Karomi. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 84/PUU-XV/2017, Rabu (9/5).
Pemohon mempermasalahkan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 24 UU Pemilu. Pemohon merasa dirugikan dengan adanya dualisme kepemimpinan dalam PPP akibat adanya putusan Kementerian Hukum dan HAM. Seharusnya, lanjut Hendrayana, Kemenkumham dalam mengeluarkan SK terkait masalah dualisme yang dialami PPP mempertimbangkan mengenai persyaratan permohonan dan masalah internal partai. Akan tetapi, dalam kasus PPP, Kemenkumham mengeluarkan SK tanpa mempertimbangkan masalah internal partai. Hal ini dinilai merugikan Pemohon. Pemohon mendalilkan adanya ketidakpastian hukum akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, setelah melihat bukti dan fakta persidangan, Pemohon telah membuktikan sebagai anggota partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Berdasarkan hal tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusan sebelumnya telah mempertimbangkan dan memutus mengenai kedudukan hukum partai politik maupun anggota partai politik yang partai politiknya memiliki anggota di DPR dan turut serta dalam pembahasan dan persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang sebagai Pemohon dalam pengujian undang-undang.
Namun demikian berdasarkan pertimbangan pada Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015, Nomor 35/PUU-XIV/2016, serta Nomor 45/PUU-XIV/2016, Mahkamah menilai Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian undang-undang a quo, baik secara perorangan maupun mewakili DPC PPP Kabupaten Cilacap.
“Selain itu, tidak ada kejelasan mengenai apakah dalam kasus konkret Pemohon terdapat persoalan tentang kejelasan status keanggotaan Pemohon dalam partai a quo. Karena sebagaimana diungkapkan Pemohon sendiri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan keputusan mengenai pengesahan kepengurusan PPP. Sehingga menurut Mahkamah, tidak ada uraian yang jelas mengenai hubungan sebab akibat antara norma yang diajukan untuk diuji dengan kerugian atau potensi kerugian Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian,” urai Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang a quo. Saldi melanjutkan meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. (Nano Tresna Arfana/LA)